MEDAN – Banjir bandang yang menyapu tiga belas rumah di tiga desa di Labura membawa duka mendalam buat Sumatera Utara di penghujung 2019.
Lima orang yang diketahui satu keluarga hanyut dalam bencana memilukan itu. Dalam perjalanan pencarian korban hanyut, petugas gabungan baru berhasil mengevakuasi tiga orang yang ditemukan tak lagi bernyawa; Cahaya Nasution, Reni Cahaya Sipahutar (7) dan Amirullah Sipahutar (5).
Sementara dua korban hanyut lainnya belum berhasil ditemukan.
Selain korban jiwa, banjir bandang di Kabupaten Labura juga menghancurkan belasa rumah. Terdaya ada tiga belas rumah di tiga desa, diantaranya; Desa Pematang lima unit rumah, Desa Hatapang lima unit rumah, di Desa Batu Tunggal; sebanyak tiga rumah.
Dua jembatan juga rusak akibat terjangan air Sungai Kapia dan Sungai Mardua yang membawa bongkahan-bongkahan kayu.
Sejalan dengan bencana ini, mencuat kabar banjir bandang di Labura diduga karena adanya praktik illegal loging.
Nama sebuah perusahaan, PT Labuhanbatu Indah (LBI) yang melakukan penebangan hutan sesuai Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) oleh Pemerintah Labura maupun Pemprov Sumut kabarnya ‘bermain curang’.
Perusahaan ini disebut-sebut melakukan penebangan kawasan hutan diluar IPK yang telah diberikan.
Hal itu terungkap Sekretaris DPN Lembaga Konservasi Lingkungan Hidup, Irmansyah, diundang dalam saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi B DPRD Sumut, Selasa (7/1/2020) kemarin.
Dalam RDP itu pihaknya mendesak Pemprov Sumut maupun Pemkab Labura melakukan peninjauan kembali berbagai bentuk perizinan yang dimiliki PT Labuhanbatu Indah yang berada di Desa Batu Tunggal dan Desa Hatapang, Kecamatan NA IX-X, Kabupaten Labura.
Penyebab Banjir
Ia menuding, perusahaan inilah diduga penyebab terjadinya banjir bandang di Labura, Sabtu 28 Desember 2019, lalu.
Ia menerangkan, dari dokumen yang didapat atas izin pembukaan koridor yang diterbitkan oleh Gubernur Sumatera Utara sesuai dengan keputusan gubernur nomor: 188.44/342/KPTS/2017 tanggal 21 Juli 2017 tentang persetujuan pembuatan koridor jalan di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) menuju lokasi IPK atas nama PT LBI perlu dilakukan peninjauan lapangan.
“Kita minta pemerintah agar melakukan peninjauan mengenai kebenaran pembukaan koridor sesuai dengan koordinat geografis di dalam peta trase koridor berdasarkan SK Gubsu nomor: 188.44/342/KPTS/2017 tanggal 21 Juli 2017, panjang koridor kurang lebih 7.289,85 meter, lebar koridor 20 meter, volume 1.508,85 M3 atau jumlah batang 810 batang,” kata Irmansyah.
Kemudian, kata dia, harus dilakukan pengecekan kebenaran laporan hasil produksi (LHP) khusus (prodsus) kayu hasil penebangan dari pembuatan jalan koridor, pengecekan kebenaran tentang pembayaran pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atas kayu yang diperoleh dari pembuatan koridor yang berasal dari hutan negara dan melakukan pengecekan kebenaran pembayaran dan kewajiban keuangan lainnya terhadap nilai tegakan yang ada di sepanjang jalan koridor.
Setelah izin pembukaan koridor jalan, lalu IPK yang diterbitkan oleh Dinas Kehutanan Sumatera Utara.
Menurut Irmansyah, sangat perlu dilakukan peninjauan lapangan terhadap kebenaran realisasi pelaksanaan pemberian IPK kepada PT Labuhanbatu Indah tahap 1 dan tahap 2.
“Kita minta agar dilakukan peninjauan Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan dari Pemerintah Kabupaten Labura nomor: 522.21/0212/HUTBUN/2016 tanggal 16 Februari 2016 tentang IPK atas nama PT Labuhanbatu Indah seluas 150 hektare dengan taksiran volume atau pohon sebanyak 9.154,20 M3 pada izin usaha perkebunan budidaya tanaman karet (IUP-B) PT Labuhanbatu Indah di Desa Batu Tunggal dan Desa Hatapang Labura, lalu berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara nomor: 522.21/1657/2018 tanggal 11 Mei 2018 tentang IPK tahap kedua PT Labuhanbatu Indah pada IUP-B PT Labuhanbatu Indah di Desa Batu Tunggal dan Desa Hatapang,” ungkapnya.
Atas adanya beberapa poin untuk dilakukan peninjauan perihal IPK, lembaga konservasi ini juga mengungkapkan adanya suatu yang bisa dijadikan kebenaran.
Di antaranya kebenaran dan kesesuaian lampiran peta skala 1:25.000 pada peta lokasi IPK tahap 1 seluas 150 hektare dan tahap 2 seluas 250 hektare yang berada di APL dan dalam IUP-B PT Labuhanbatu Indah.
Kemudian, benaran dan kesesuaian jumlah volume produksi kayu bulat dengan rincian per kelompok jenis kayu (sortimen kayu) pada IPK tahap 1 dan tahap 2. Lalu kebenaran tentang pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) di lokasi IPK tahap 1 dan tahap 2 serta kewajiban pembayaran lainnya.
Terakhir pengecekan penebangan kayu terjadi pada jarak 500 meter dari tepi waduk atau danau, 200 meter dari tepi mata air atau kiri dan kanan sungai daerah rawa, 100 meter dari kiri dan kanan tepi sungai, serta 50 meter dari tepi kiri dan kanan anak sungai.
“Kita melihat ini terjadi dan diduga dilakukan oleh PT Labuhanbatu Indah,” ucapnya.
Selanjutnya, lembaga konservasi ini juga meminta dilaksanakan peninjauan atas atas izin lokasi lingkungan dan izin usaha perkebunan (IUP-B) yang diterbitkan oleh Bupati Labura.
Diduga Ada Penyimpangan Izin
Kita menduga telah terjadi penyimpangan atas izin yang dimiliki dan dengan aktivitas yang dilakukan
“Kita meminta agar dilakukan peninjauan kembali dan kajian ulang terhadap proses penerbitan izin lokasi yakni keputusan Bupati Labura nomor: 593/768/TAPEM/2015 tanggal 24 April 2015 tentang pemberian izin lokasi untuk tanaman budidaya karet PT Labuhanbatu Indah seluas 1.100 hektare yang terletak di Desa Batu Tunggal dan Desa Hatapang,” ungkapnya.
Lalu izin lingkungan yakni keputusan Bupati Labura nomor: 60/1549/TAPEM/2015 tanggal 14 Agustus 2015 tentang izin lingkungan perkebunan budidaya tanaman karet PT Labuanbatu Indah seluas 1.100 hektare yang terletak di Desa Batu Tunggal dan Desa Hatapang, dan terakhir izin usaha perkebunan budidaya (IUP-B) sesuai keputusan Bupati Labura nomor: 525.26/1812/TAPEM/2015 tanggal 22 September 2015 tentang izin usaha perkebunan budidaya karet PT Labuhanbatu Indah untuk jenis usaha perkebunan budidaya tanaman karet seluas 1.100 hektare di tempat yang sama.
Kemudian, perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap izin usaha pemanfaatan hutan masyarakat (IUPHKM) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan (PSKL) yang ada di Labura.
“Kita merasa, perlu dilakukan peninjauan areal kerja perizinan perhutanan sosial yakni surat keputusan Menteri LHKRI nomor: SK 3600/MENLHK/PSKL/PKPS/PSL.O/5/2018 tanggal 28 Mei 2018 tentang pemberian IUPHKM di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) kepada kelompok tani hutan (KTH) Batu Jonjong Bersinar seluas 5.500 hektare di Kecamatan NA IX-X Kabupaten Labura,” tegasnya.
Selain itu, dia juga mengatakan agar segera dilaksanakan tata batas areal kerja untuk memperoleh kejelasan batas antara areal penggunaan lain atau areal bukan hutan (APL) lokasi IUP-B PT Labuhanbatu Indah dengan areal kerja KTH Batu Jonjong Bersinar.
“Kenapa kita minta itu semua ditinjau dan dikaji ulang, kita menduga telah terjadi penyimpangan atas izin yang dimiliki dan dengan aktivitas yang dilakukan. Kita menduga perusahaan itu menjadi salah satu penyebab banjir bandang,” tandasnya. (*)
Sumber: Tagar.id