Hari ini Jumat 17 April 2020, genap satu tahun pemungutan suara Pemilu Serentak Tahun 2019 yang dilaksanakan 17 April 2019. Saya merasa bangga dan terhormat menjadi Penyelenggara Pemilu paling rumit dan besar dalam sejarah Republik Indonesia yang sukses menghasilkan Pemimpin NKRI untuk lima tahun kedepan.
Kebetulan saya memasuki masa 17 (tujuh belas) tahun pengabdian di Korps Penyelenggara Pemilu, saat Bapak Presiden Republik Indonesia menetapkan memberhentikan saya dengan tidak hormat melalui Keputusan Presiden RI Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020.
Pada hari ini, Saya bersama 7 (tujuh) orang Kuasa Hukum yang menamakan diri “Tim Advokasi Penegak Kehormatan Penyelenggara Pemilu”, mendaftarkan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Saya selaku Penggugat dan Tergugatnya Presiden Republik Indonesia. Gugatan saya tercatat Nomor 82/G/2020/PTUN.JKT.
Gugatan Saya meminta PTUN menetapkan Putusan:
- Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020 yang memberhentikan saya secara tidak hormat sebagai Anggota KPU Masa Jabatan 2017-2022.
- Mewajibkan Presiden untuk mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020 yang memberhentikan saya secara tidak hormat sebagai Anggota KPU Masa Jabatan 2017-2022.
- Mewajibkan Presiden untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan saya sebagai Anggota KPU Masa Jabatan 2017-2022 seperti semula sebelum diberhentikan.
Saya meminta PTUN membatalkan Keputusan Presiden karena keputusan tersebut didasarkan pada Putusan DKPP 317/2019 mengandung “kekurangan yuridis essential yang sempurna” dan “bertabur cacat yuridis” yang tidak bisa ditoleransi dari segi apapun.
Meskipun yang mengandung kekurangan yuridis essential Putusan DKPP 317/2019, sayangnya menurut Sistem Hukum Indonesia yang menanggung akibatnya adalah Keputusan Presiden 34/P Tahun 2020, yang harus dijadikan objek gugatan dan dimintakan pembatalan kepada Pengadilan.
Kekurangan yuridis yang essential dari Putusan DKPP 317/2019 karena mengkhianati tujuan dari Putusan DKPP yaitu untuk menyelesaikan perselisihan etika antara Pengadu dan Teradu sebagaimana diatur Pasal 155 ayat (2) UU 7/2017 tentang Pemilu.
Serta karena DKPP mengkhianati prinsip keramat penyelesaian perselisihan yaitu asas “audi et alteram partem” atau kewajiban menggelar sidang pemeriksaan perselisihan demi mendengar semua pihak yang berselisih dan berkepentingan.
Prinsip ‘audi et alteram partem’ sudah dipraktikan sejak zaman kuno dan berlaku sebagai ‘general principle of law’ atau prinsip hukum yang berlaku universal melampui batas wilayah dan batasan waktu. Penerapan prinsip audi et alteram partem menjadi penjaga agar pemeriksa/pengadil tidak bertindak sewenang-wenang menetapkan putusan tanpa adanya pengaduan atau tanpa ada pihak yang dirugikan.
Putusan DKPP 317/2019 amar nomor 3 yang memberhentikan saya sebagai Anggota KPU, ditetapkan DKPP tanpa memeriksa Pengadu maupun saya selaku Teradu.
Saya bertanya-tanya, apakah ada prosedur penyelesaian perselisihan etika di DKPP selain dari prosedur yang berpedoman kepada prinsip “audi et alteram partem”. UU 7/2017 tentang Pemilu, Peraturan DKPP 3/2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagaimana diubah dengan Peraturan DKPP 2/2019 menganut prinsip “audi et alteram partem” secara tersurat lagi tegas.
Dari sisi Pengadu. Pengadu sudah mencabut pengaduan di sidang pertama dan Pengadu tidak bersedia lagi hadir dalam sidang kedua. Pengadu tidak pernah memberi keterangan dibawah disumpah dalam sidang DKPP sebagaimana diwajibkan Pasal 31 ayat (4) huruf b Peraturan DKPP 3/2017 Jo Peraturan DKPP 2/2019. Pengadu juga tidak mengajukan alat bukti surat yang disahkan dimuka persidangan, maupun saksi dalam sidang DKPP sebagaimana diwajibkan Pasal 458 ayat (7) UU 7/2017 tentang Pemilu dan Pasal 31 ayat (5) Peraturan DKPP 3/2017 Jo Peraturan DKPP 2/2019.
Dari sisi saya selaku Teradu. DKPP sama sekali belum pernah mendengar keterangan dan pembelaan saya sebagaimana diwajibkan kepada DKPP oleh Pasal 38 ayat (2), Pasal 458 ayat (8) UU 7/2017 tentang Pemilu dan Pasal 31 ayat (4) huruf c Peraturan DKPP 3/2017 Jo Peraturan DKPP 2/2019.
Saya bertanya-tanya demi kepentingan siapa DKPP sampai menerobos prinsip hukum universal “audi et alteram partem”, Putusan DKPP 317/2019 melanggar 12 ketentuan prosedural yang diatur UU 7/2017 tentang Pemilu, Peraturan DKPP 3/2017 Jo Peraturan DKPP 2/2019. Setahu saya memang ada seorang Anggota DKPP menjadi Calon Anggota KPU Pengganti Antar Waktu. Semakin banyak Anggota KPU RI diberhentikan, semakin besar peluangnya dilantik.
Pokok perselisihan dalam Pengaduan di DKPP yaitu karena KPU menerbitkan Surat KPU 1937/2019 tanggal 10 September 2019.
Saya perlu klarifikasi tidak ada pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dalam penerbitan Surat KPU 1937/2019. Kami hanya menjalankan perintah amar Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) MKRI No. 145-02-20/2019 tanggal 08 Agustus 2019. Saya dan Enam Anggota KPU tidak mendapat pengaruh ataupun upaya campur tangan dari pihak manapun saat menetapkan Surat KPU 1937/2019. Surat itu bukan disengaja untuk menguntungkan golongan, kelompok atau pribadi dari Partai tertentu.
Kemandirian, profesionalisme, integritas tetap kami pegang saat menetapkan Surat KPU 1937/2019 tanggal 10 September 2019 yang diperkarakan di DKPP sebagai pelanggaran etika.
Putusan DKPP Campuri Kemandirian KPU dan Intervensi Putusan MK
Melalui Putusan 317/2019 DKPP sudah menerobos wilayah kemandirian KPU. Padahal keputusan dan/atau tindakan KPU melalui Surat 1937/2019 hanya untuk melaksanakan putusan PHPU Mahkamah Konstitusi.
Suka atau tidak suka, baik atau buruk Putusan PHPU Mahkamah Konstitusi harus diterima apa adanya sebagai penyelesaian perselisihan hasil Pemilu yang paling akhir. KPU diwajibkan Pasal 474 ayat (4) UU 7/2017 tentang Pemilu melaksanakan putusan perselisihan terakhir tersebut. Kami menjalankannya dengan penuh integritas, profesional dan mandiri.
Surat KPU 1937/2019 karena melaksanakan Putusan MK semestinya tidak perlu diuji lagi kesesuaiannya terhadap UU 7/2017 tentang Pemilu. MK saat memeriksa dan memutus PHPU sudah menguji setiap perkara menggunakan UU 7/2017 tentang Pemilu. KPU hanya menetapkan tindakan dan/atau keputusan untuk menjalankan perintah MK yang pemeriksaanya sudah berdasar UU 7/2017 tentang Pemilu.
Surat KPU 317/2019 karena dikategori perbuatan hukum pemerintahan melaksanakan Putusan Pengadilan, maka tidak termasuk objek pemeriksaan etika DKPP.
Putusan DKPP Membuka Kotak Pandora Perselisihan Hasil Pemilu
Bila keputusan dan/atau tindakan KPU untuk menjalankan Putusan PHPU MK masih bisa disengketakan di Bawaslu maupun DKPP, maka Kotak Pandora perselisihan hasil Pemilu yang tidak berkesudahan akan dibiarkan tetap terbuka. Akan ada pihak lain yang mempersoalkan hasil Pemilu 2019 baik Pemilu Presiden/Wakil Presiden maupun Pemilu DPR, DPD dan DPRD.
Putusan DKPP 317/2019 ini menyebabkan hasil Pemilu kehilangan dasar kepastian hukum, keadilan dan kepercayaan. Upaya menggerus kepercayaan publik terhadap hasil Pemilu tidak boleh dibiarkan. Kotak Pandora harus ditutup kembali.
Demi menjaga kemandirian yang menjadi kehormatan Penyelenggara Pemilu, yang selama 17 (tujuh belas) tahun hidup Saya menjadi tempat mengabdikan diri sepenuh hati, saya memilih menempuh upaya hukum Gugatan di PTUN terhadap Keppres yang ditetapkan atas dasar Putusan DKPP 317/2019.
Semoga PTUN memberikan Putusan yang adil dan kedepannya dapat dijadikan sumber hukum guna menentukan batasan kewenangan DKPP terhadap kemandirian KPU. Ayo Tegakkan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. KPU melayani dengan kemandirian, profesionalisme dan integritas.
Demi Kehormatan Penyelenggara Pemilu
Jakarta, 17 April 2019
Evi Novida Ginting Manik
Kuasa Hukum : Heru Widodo, Hasan Tua Lumbanraja, dkk.