Munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan mendapatkan penolakan besar-besaran dari musisi di Tanah Air.
Penolakan juga datang dari Profesor musik Tjut Nyak Deviana. Dia menilai RUU Permusikan adalah produk bermasalah yang dibuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Bahasa ini (dalam RUU Permusikan) sama sekali tidak mewakili bahasa musik. Setelah dirancang seharusnya juga menggunakan bahasa hukum yang mana di sini tidak ada,” kata Deviana saat diskusi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (6/2).
“Sebanyak 95 persen RUU Pemusikan ini harus direvisi. Saya tolak RUU Permusikan mentah-mentah,” jelas dia.
Dalam diskusi tersebut Deviana membedah masalah dalam RUU Permusikan. Ia memulai dari judul ‘Permusikan’ yang menurutnya tidak benar, karena tidak memiliki maksud jelas.
Ia mencontohkan judul RUU tersebut bisa diganti menjadi RUU Tata Kelola Industri Musik atau RUU Tata Kelola Ekosistem Musik.
“Kemudian sebelum kata ‘menimbang’ (dalam pembukaan RUU Permusikan), kata ‘musik’ harus diperjelas dulu karena ada banyak genre. Penjelasan ‘musik’ (pada Pasal 1 ayat 1) perlu direvisi,” kata Deviana.
Selama diskusi berlangsung hampir setiap pasal RUU Permusikan dibedah. Beberapa secara singkat, yang lain lebih merinci, utamanya pasal-pasal yang mengundang kontroversi.
Salah satu penjelasan yang menarik dari Deviana adalah Pasal 5 yang membatasi musisi dalam proses kreasi. Dalam pasal itu terdapat tujuh ayat yang menjelaskan hal-hal terlarang bagi musisi.
Ia menyoroti ayat f yang berbunyi ‘membawa pengaruh negatif budaya asing’. Tidak ada penjelasan rinci mengenai apa atau siapa yang dimaksud oleh ‘budaya asing’, seperti dilansir CNNIndonesia.
“Pasal 5 ini lucu, musik itu sendiri budaya asing, ayat huruf f ini seharusnya dijelaskan. Budaya asing dari mana yang diarang, kalau dari negara tertentu disebutkan,” kata Deviana.
Pun begitu dengan Pasal 13 yang berbunyi ‘Pelaku usaha yang melakukan distribusi wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada kemasan produk musik yang didistribusikan ke masyarakat’. Ia menilai pasal ini tidak perlu ada.
“Kalau begitu penggunaan kata ‘musik’ harus diubah, (kata) ‘musik’ itu bahasa Yunani. Ayo deh cari sendiri kata pengganti ‘musik’,” kata Deviana yang disambut tawa audiensi musisi.
Deviana mengambil kesimpulan bahwa pihak yang merancang RUU Permusikan, dalam hal ini Badan Keahlian Dewan (BKD), sama sekali tidak mengerti musik. Ia juga berpendapat perancangan RUU Permusikan tidak didasari masukan dari pakar musik.
Deviana sendiri sudah menjadi akademisi dan praktisi musik selama puluhan tahun. Ia sempat menjadi rektor di perguruan tinggi International Music College (Jazz & Rockschulen Freiburg) di Jerman pada dekade 1990an.
“Di luar negeri itu aturannya sudah diatur di UUD, bahwa profesi mereka [musisi] itu begini-begini, ada semuanya tuh jelas. Jadi tidak ada musisi yang merasa harus protes seperti sekarang. Contoh di Eropa saja, sudah lama dilakukan. Ya mereka kan negara maju, tidak bisa disamakan seperti di sini,” katanya.