DELI SERDANG | Sebuah Tugu berlambangkan Pancasila diberi nama Tugu Amanat Perjuangan Rakyat (Ampera). Tugu tersebut sarat dengan Gerakan 30 September 1965 yang menjadi salah satu sejarah terkait kemelut tragedi Partai Komunis Indonesia (PKI) terjadi di Sumatera Utara.
Dari amatan Orbitdigital, Tugu Ampera yang berlokasi di Desa Kolam, Kabupaten Deli Serdang tersebut masih berdiri kokoh, berada di dekat bedeng pengairan yang merupakan hamparan sawah. Suasananya sekitar lokasi itu nyaman, seperti yang terpantau Senin (29/9/2025) sore.
Desa yang mayoritas masyarakatnya bertani dan buruh harian lepas itu diberi nama Kolam, terletak di Kabupaten Deli Serdang menjadi saksi tragedi tersebut. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin Dipa Nusantara Aidit saat itu disebut ingin menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dengan membunuh enam jendral dan satu perwira.
Tugu Ampera menyimpan kisah tersendiri tentang peristiwa tersebut. Tragedi penyerbuan kampung Kolam.
Jupri Purwanto Kepala Desa Kolam menceritakan sejarah singkat peristiwa terjadinya tragedi hingga berdirinya Tugu Ampera yang menjadi saksi sejarah pada tahun 1965.
“Setahu saya, pada 1965 setelah peristiwa itu didirikan monumen tugu pahlawan Ampera. Sebagai bentuk memperingati pengorbanan kader Pemuda Pancasila pada saat itu,” ucapnya.
Ia pun mengatakan bahwa informasi yang saya terima dari masyarakat di era itu saat situasi politik negara tak menentu saat itu bersamaan dengan yang terjadi di Madiun, terjadi juga di sini. Namun kejadian di Desa Kolam melibatkan antara Ormas Pemuda Pancasila dengan masyarakat yang disinyalir Anggota PKI, ucapnya.
“Dari beberapa cerita masyarakat yang saya dapatkan, situasi pada tahun1965 itu adanya informasi yang menyatakan kampung kolam merupakan basis Partai Komunis Indonesia (PKI), jadi ormas diikutsertakan untuk memberantas. Ormas dan masyarakat pun bentrok sehingga mengakibatkan jatuh korban dari ormas,” tuturnya.
Kampung Kolam Mencekam
Setelah peristiwa tersebut, suasana kampung kolam pada saat itu sangat mencekam dan masyarakat mengalami trauma berat yang mendalam sehingga warga menjadi terdoktrin.
“Apalagi ada ketentuan yang mengatakan anak PKI tidak bisa menjadi apa-apa, yang berlangsung selama puluhan tahun menghantui masyarakat,” sebutnya.
Namun anggapan tersebut di zaman sekarang masyarakat semuanya baik baik saja dan generasi muda sudah tidak terkungkung dengan paradigma itu. Hingga yang minat ingin belajar tetap belajar sampai jenjang kuliah dan sampai hari ini banyak putra putri Desa Kampung Kolam yang berprestasi bahkaan sampai skala tingkat nasional, sebut kades.
Warga di desa tersebut yang umumnya bertani saat ini sudah hidup tentram dengan usaha taninya, saling dukung dan aktif bersosialisasi serta hidup rukun dan damai dengan pertaniannya.
Kades yang juga putra daerah berharap peristiwa yang terjadi “mari kita jaga sebagai bagian dari sejarah di Desa Kolam. Dari sejarah ini kita banyak belajar bagaimana situasi kondisi politik pada saat itu. ayok bersama menyongsong masa depan dengan berbagai karya yang bisa kita lakukan,” pungkasnya.
Dua Tewas
Sementara seorang penulis bernama Ismail Pong, yang merupakan putra daerah dan lahir di Desa Kolam, menceritakan secara singkat kisah di balik Tugu Ampera di dalam bukunya berjudul Muleh.
Pada masa itu, Desa Kolam yang awalnya disebut Kampung Kolam disinyalir sebagai tempat persembunyian dan berkembangnya PKI.
Hal itu didasari karena adanya aktivitas organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan sayap PKI. BTI ini kemudian disebut menghasut dan memasukkan ideologi Komunis kepada petani dan buruh perkebunan asal Jawa. Desa itu pun diduga sebagai basis PKI.
Alhasil, Pemuda Pancasila dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) masuk dan menyerbu Kampung Kolam untuk menumpas PKI pada 25 Oktober 1965. Namun upaya itu mengalami kegagalan dan mengakibatkan dua orang tewas, yakni M Jacop dari Ormas PP dan Adlin Prawira dari PP/HMI.
“Jenazah keduanya ditemukan dalam parit Kobah di Dusun Sukmo. Sebagai bentuk penghormatan atas keduanya, dibangun lah Tugu Ampera di pinggir parit tersebut,” tulis Ismail di dalam bukunya. (OM/011)