KARO I Menanggapi fenomena melawan Kotak Kosong di sejumlah daerah pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 mendatang, Akademisi Universitas Sumatera Utara (USU) Roy Fachrabi Ginting angkat bicara.
“Saya sebagai akademisi sangat prihatin dengan kondisi melawan kotak kosong, Karena hal ini merupakan bukti kemunduran demokrasi kita yang semakin memprihatinkan dan rakyat merasa demokrasi ini sebuah permainan elit yang memiliki akses politik dan pemilik modal,” tegas Roy Fachraby Ginting dosen Hukum Bisnis Fakultas Dkonomi dan Bisnis USU Medan kepada Orbitdigital, Selasa (3/8/2024) di Berastagi.
Menurutnya, maraknya fenomena “kotak kosong” dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 dinilai mencerminkan “kemunduran demokrasi” karena masyarakat dikondisikan untuk menghadapi pilihan yang “tidak ideal”.
Lanjutnya, saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat ada 43 daerah dengan pasangan calon tunggal kepala daerah hingga akhir agustus 2024 yang lalu. Itu artinya, mereka berpeluang melawan kotak kosong. Untuk itu, KPU memperpanjang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah untuk 43 daerah hingga 2-4 September 2024 untuk membuka peluang munculnya bakal calon pasangan baru,” sebutnya
“Kali ini akan menjadi pemilihan dengan jumlah kotak kosong terbanyak sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia apabila tidak ada partai politik yang mengalihkan dukungannya pada masa perpanjangan itu. Hal ini tentu sebuah bukti kemunduran demokrasi karena kompetisinya dihilangkan. Yang seharusnya masyarakat bisa melihat adu gagasan, menjadi tidak ada. Ibarat kata mau menang secara cepat saja karena tren menunjukkan calon tunggal sering menang,” ungkap Roy.
“Jadi, ia sudah, diborong saja partai itu semua dalam satu perahu besar. sudah barang tentu hal ini bukan tiket kosong, pasti ada yang ditransaksikan dan secara politik hal itu akan kelihatan setelah kepala daerahnya terpilih,” ucapnya.
Melihat bahwa fenomena kotak kosong dapat membuat perhelatan pilkada hanya akan menjadi semacam “formalitas” bagi masyarakat.
Diingatkannya, fenomena kotak kosong ini mulai muncul pada tahun 2015 dan makin marak terjadi di setiap penyelenggaraan pilkada serentak. Padahal, hadirnya hanya satu pasangan calon atau paslon tunggal dalam pilkada dapat mengancam demokrasi dengan apatisnya masyarakat untuk ikut memilih dan berpartisipasi dalam Pemilihan Kepala Daerah serta lahir sikap apatis rakyat untuk ikut Pilkada, karena berasumsi bahwa pemilik modal yang akan menang dalam pertarungan, kata Roy Fachraby Ginting.
Pilkada melawan kotak kosong merupakan wujud dari lemahnya daya saing dan ketidakberanian melakukan kompetisi dalam pertarungan. Lawan dikalahkan sebelum maju dalam pertempuran, kata Roy. Padahal, pertarungan yang sejati adalah saat ada lawan yang ada di hadapan, sehingga bila kemenangan yang diraih, atau kekalahan yang didapat, semua merupakan wujud ketangguhan dan keberanian yang sebenarnya.
Menilik kasus Pilkada lawan kotak kosong ini adalah kesalahan partai yang gagal melakukan kaderisasi di satu pihak, dan di lain pihak telah terjadi krisis kepemimpinan di daerah, katanya. Partai yang seharusnya menyiapkan calon-calon pemimpin, partai terkesan hanya digunakan untuk kepentingan hal-hal yang sifatnya pragmatis oleh para elitenya, yang tak menutup kemungkinan tak lepas pula dari adanya konflik elite.
“Penyebab utama dari fenomena ini adalah sistem politik yang tidak berfungsi dengan baik. Dalam demokrasi, transisi kekuasaan dilakukan melalui mekanisme elektoral yang melibatkan partai politik sebagai instrumen utama untuk rekrutmen dan seleksi kepemimpinan, termasuk dalam pilkada,
Regulasi ambang batas pencalonan yang tinggi juga faktor yang turut berpengaruh walaupun sudah ada keputusan MK yang terbaru,” pungkasnya.
Reporter : Daniel Manik