Aceh  

Praktik Money Politik Terungkap, Apakah Membatalkan Paslon Wali Kota 02 ?

LANGSA | Kasus dugaan money politik yang mencuat di Kecamatan Langsa Lama sehari jelang Pilkada Kota Langsa bukan sekadar pelanggaran teknis. Ini adalah tamparan keras bagi integritas demokrasi lokal.

Praktik pembagian amplop berisi uang pecahan Rp50 ribu dan kartu nama pasangan calon 02, Jeffry Sentana S Putra dan M Haikal Alfisyahrin ST, adalah cermin buruk bagaimana uang mencoba menjadi alat negosiasi moral masyarakat.

Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah kasus ini cukup untuk membatalkan pencalonan pasangan calon 02?

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, khususnya Pasal 73 Ayat (2), dijelaskan bahwa pasangan calon yang terbukti melakukan pelanggaran berupa politik uang yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dapat dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai peserta Pilkada.

Tapi apakah mekanisme hukum kita cukup tajam untuk menjaring praktik-praktik busuk semacam ini?

Dalam kasus di Langsa Lama, laporan warga yang diteruskan dari Pengawas Pilkada Gampong ke Panitia Pengawas Kecamatan, hingga akhirnya dibawa ke Panwaslih Kota Langsa, adalah prosedur yang benar.

Namun, untuk sampai pada pembatalan pasangan calon, Panwaslih membutuhkan bukti kuat yang mengindikasikan bahwa pelanggaran tersebut dilakukan secara TSM.

Masalahnya, apa yang terjadi di Dusun Samudera baru menyentuh permukaan. Dua pelaku muda, SM dan MIM, hanya kaki tangan kecil dalam jaringan yang lebih besar.

Jika Panwaslih hanya fokus pada pelaku lapangan tanpa menyentuh aktor intelektual—dalam hal ini tim sukses atau bahkan pasangan calon itu sendiri—maka tuntutan pembatalan bisa saja kandas.

Ketua Panwaslih Kota Langsa, Zulfikar, menyebutkan bahwa sanksi pidana dan administratif dapat dikenakan, termasuk pembatalan paslon, jika terbukti TSM.

Namun, seperti yang sering terjadi dalam kasus politik uang, pembuktian TSM kerap berakhir seperti jarum di tumpukan jerami.

Pasal 73 UU Pilkada: Tajam di Atas Kertas, Tumpul di Lapangan?

Pasal 73 Ayat (2) UU Pilkada seolah menjanjikan harapan bagi demokrasi yang bersih.

Tetapi praktiknya, pembuktian pelanggaran politik uang TSM membutuhkan lebih dari sekadar amplop berisi uang dan kartu nama.

Pengawas harus menunjukkan bahwa pelanggaran ini:

  1. Dilakukan secara terstruktur, melibatkan pihak-pihak resmi dalam tim kampanye.
  2. Bersifat sistematis, direncanakan dan dijalankan dengan skema yang matang.
  3. Dilakukan secara masif, berdampak luas pada hasil Pilkada.

Kasus Langsa Lama mungkin baru memenuhi unsur masif jika benar ada intimidasi terhadap saksi atau warga yang melapor.

Namun, bagaimana membuktikan bahwa tindakan tersebut terstruktur dan direncanakan oleh pasangan calon?

Tanpa pengakuan dari pelaku atau temuan alat bukti yang mengaitkan langsung ke paslon, regulasi ini akan menjadi tumpul.

Demokrasi di Ujung Tanduk

Jika dibiarkan, kasus Langsa Lama hanyalah gambaran kecil dari ancaman yang lebih besar.

Politik uang menciptakan lingkaran setan dalam demokrasi lokal: pemimpin yang terpilih dengan uang akan menganggap dirinya punya utang pada sponsor, bukan pada rakyat.

Pada akhirnya, masyarakat hanya menjadi alat, bukan subjek utama dalam proses politik.

Penegakan hukum yang lemah juga menjadi bahan bakar utama bagi keberanian aktor-aktor politik busuk ini.

Jika Panwaslih hanya berhenti di level prosedural tanpa menggali lebih dalam, maka kita harus bertanya: apa sebenarnya fungsi pengawasan?

Langsa Lama adalah ujian, bukan hanya untuk Panwaslih, tetapi juga untuk kita semua sebagai pemilih.

Apakah kita akan membiarkan praktik semacam ini berulang, atau kita akan mendorong sistem yang benar-benar bersih?

Jika pasangan calon 02 terbukti bersalah, maka pembatalan harus dilakukan. Jika tidak, kepercayaan terhadap sistem Pilkada akan runtuh.

Demokrasi tak boleh lagi menjadi komoditas murah yang bisa dibeli dengan amplop.

Pilkada Kota Langsa bukan hanya soal siapa yang menang, tetapi soal bagaimana integritas sistem ini tetap terjaga.

Jika hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka hari esok bukan lagi pesta demokrasi, melainkan panggung dagelan yang merugikan semua pihak.

Reporter : Rusdi Hanafi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *