Aceh Timur-ORBIT:Ikan jurung merupakan ikan air tawar yang hidup di sungai Lokop, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur.
Selain ikan jurung, di sungai yang bermuara ke sungai Simpang Jernih, dan Aceh Tamiang ini, juga terdapat ikan dundung, kebaro, lele, gabus, mujahir, dan sejumlah ikan liar lainnya.
“Tapi setiap harinya warga mencari ikan jurung. Karena harganya mahal,” ungkap Zainuddin, Keuchik Gampong Lokop, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur, Selasa (8/1/2019).
Menurut Zainuddin, selain dijual mentah, ikan jurung juga dikeringkan dengan cara disalai atau diasapkan, dengan harga jual Rp90-100 ribu per kilogram.
“Rp 90-100 itu harga jual di Lokop, jika dibawa ke Gayo Lues bisa mencapai Rp130 ribu perkilogram,” jelas Zainuddin, seraya menyebutkan, kadang-kadang warga dari daerah lain juga datang ke Lokop khusus mencari ikan tersebut.
Sedangkan, jika mentah atau baru ditangkap ikan jurung dijual bervariasi sesuai dengan ukuran.
“Jika panjangnya sekitar 15 inci harganya Rp200 ribu per ekor. Sedangkan, kalau panjangnya sampai 1 meter, harganya mencapai Rp500 ribu per ekor,” jelas Zainuddin. Sedangkan ikan dundung harga jualnya Rp25-35 ribu perkilogram.
Selain berkebun, jelas Zainuddin, sebagai warga di Lokop setiap harinya bermata pencaharian mencari ikan di sungai Lokop, dengan cara dipancing, dijala, dan memasang jaring.
“Mencari ikan merupakan tradisi nenek moyang yang telah turun menurun yang masih dipraktekkan warga Lokop,” ujar Zainuddin.
Apabila menghadapai hari besar Islam, seperti menjelang Hari Raya, atau Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, warga Lokop, berkelompok dan menginap di hutan mencari ikan Jurung.
“Setiap kelompok 4-5 orang. kadang-kadanga nginap di hutan selama seminggu, hasilnya bisa mencapai 25-30 kg ikan jurung, kemudian dibagi dan dijual,” ungkap Zainuddin.
Namun demikian, sebagai warga setiap harinya tetap saja ada yang mencari ikan, baik siang, maupun malam hari.
Selain mencari ikan, mata pencarian warga Lokop umumnya berkebun, yang ditanami pinang, kakao, dan sejumlah tanaman lainnya.
“Tapi kami masih terkendala jalan pertanian, karena baik pergi ke ladang, maupun pulang, membawa bekal, dan hasil pertanian, kami junjung di kepala, karena belum adanya pembangunan jalan produksi pertanian. Kadang-kadang pergi jam 7 pagi, sampai ke ladang pukul 11. WIB, begitu sejak zaman dulu,” ungkap Zainuddin.