Di Aceh Timur, ada dua koperasi pemilik konsesi di hutan mangrove masing-masing Koperasi Bina Meupakat, dan Flora Potensi.
Koperasi di Aceh Timur ini diketahui sudah pernah mendapat surat teguran dari KPH 3 UPTD Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh.
Masalahnya adalah, kedua koperasi itu tidak memenuhi kewajiban mereka seperti menanam bakau lebih dulu sebelum dipotong, cursing (pencatatan kayu yang bisa ditebang), dan pembinaan hingga penjualan arang.
Di Langsa areal hutan mangrove dulunya memiliki luas 17.500 Ha dikuasai oleh HPH PT. Bakau Selat Malaka. Kawasan hutan terus mengalami degradasi akibat tidak adanya kegiatan pembinaan yang berkelanjutan.
Di Aceh Tamiang, pengelola usaha Bakau Bina Usaha (BBU) memiliki Pemanfaatan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk wilayah pesisir hutan bakau seluas 9.532 hektare. Pengelola usaha Bakau Bina Usaha (BBU) di Aceh Tamiang sudah mendapat surat peringatan tiga kali dan KPH 3 UPTD DLHK Aceh sudah merekomendasikan pencabutan izin.
Sikap AWF, AWF melihat problematika di habitat mangrove sudah sedemikian parah dan memerlukan penanganan serius oleh Pemerintah terkait tata kelola hutan.
Berdasarkan persoalan tersebut, maka AWF menyatakan sikap sebagai berikut.
1. Pemerintah Aceh harus memprioritaskan perlindungan lahan basah (wetlands) sebagai kawasan hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi.
2. Pemerintah Aceh harus segera mencabut izin pemilik konsesi hutan di habitat mangrove yang sudah terbukti melanggar tata kelola kawasan hutan.
3. Pemerintah harus melibatkan komunitas adat/lembaga adat terkait pengelolaan hutan mangrove di pantai timur Aceh.
4. Pemerintah lokal/kabupaten/kota harus mengeluarkan peraturan/qanun tentang pengelolaan hutan mangrove oleh masyarakat adat.
5. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh harus merestorasi semua habitat mangrove yang sudah terdegradasi untuk kehidupan manusia dan kesehatan planet kita.
Reporter : Rusdi Hanafiah