
DINAS Pendidikan Sumatera Utara berencana menerapkan sistem sekolah lima hari mulai tahun ajaran 2025/2026. Gagasan ini bukan semata-mata soal penjadwalan akademik, tetapi juga mengusung visi sosial yang lebih luas: mencegah kenakalan remaja seperti tawuran, geng motor, dan penyalahgunaan narkoba, serta—secara lebih ambisius—mendorong pertumbuhan sektor pariwisata dan UMKM di daerah.
Dalam konsep ini, Sabtu dan Minggu diharapkan menjadi ruang waktu yang berkualitas untuk keluarga. Dengan adanya dua hari tanpa aktivitas sekolah, orang tua diharapkan memiliki kesempatan lebih besar untuk terlibat dalam pengawasan dan pembinaan karakter anak. Secara teori, pendekatan ini selaras dengan berbagai kajian psikologi perkembangan yang menunjukkan bahwa kelekatan (attachment) anak dengan orang tua sangat menentukan pembentukan moral dan perilaku sosial anak di kemudian hari.
Namun demikian, pernyataan bahwa kebijakan ini dapat sekaligus meningkatkan sektor pariwisata dan UMKM perlu dilihat secara lebih kritis. Logikanya, jika keluarga memiliki waktu luang di akhir pekan, maka potensi untuk berwisata dan berbelanja meningkat, yang pada gilirannya menggerakkan roda ekonomi lokal. Akan tetapi, asumsi ini tampaknya tidak mempertimbangkan secara memadai realitas sosial-ekonomi masyarakat Sumut secara keseluruhan. Tidak semua keluarga memiliki daya beli yang cukup untuk melakukan aktivitas rekreatif setiap akhir pekan. Bagi sebagian keluarga dari kelompok ekonomi bawah, libur justru bisa menjadi ruang kosong yang tidak produktif, bahkan berpotensi menimbulkan konflik domestik jika tidak dikelola dengan baik.
Di sinilah pentingnya memastikan bahwa kebijakan ini disertai dengan infrastruktur sosial yang memadai. Misalnya, adanya program akhir pekan di komunitas, masjid, gereja, atau balai desa yang memungkinkan anak-anak tetap terlibat dalam aktivitas positif—baik keagamaan, olahraga, maupun kesenian—tanpa membebani ekonomi keluarga. Selain itu, keterlibatan aktif pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menyediakan sarana rekreasi murah dan terjangkau menjadi syarat penting agar manfaat ekonomi dari sistem ini dapat dirasakan secara lebih merata.
Kebijakan lima hari sekolah bukanlah solusi tunggal untuk persoalan remaja atau ekonomi daerah. Ia hanya akan efektif jika didukung oleh strategi lintas sektor yang terintegrasi dan sensitif terhadap keragaman kondisi masyarakat. Di titik inilah, mimpi untuk menciptakan generasi muda yang sehat, berkarakter, dan produktif bisa perlahan menjadi kenyataan—bukan hanya bagi yang mampu, tetapi juga bagi semua. (*)