BOPDT: Warga yang Klaim Lahan di Zona Otorita tak Punya Dasar

Direktur Utama (Dirut) BOPDT, Arie Prasetyo, saat menunjukkan dua sertifikat HPL untuk Zona Otororita Danau Toba. (orbitdigitaldaily.com/Diva Suwanda)

MEDAN – Beberapa waktu lalu sejumlah ibu-ibu melakukan aksi demo menentang pembangunan jalan untuk akses menuju The Kaldera Toba Nomadic Escape, Kamis (12/9/2019).

Ibu-ibu yang mengklaim diri warga Desa Sigapiton merasa kecewa karena lahan yang akan dibuka sebagai akses jalan itu merupakan tanah ulayat mereka.

Namun, meski sempat terjadi keributan, Badan Otoritas Pariwisata Danau Toba (BOPDT) melanjutkan pengerjaan pembangunan jalan di lahan yang masuk dalam zona otorita yang berbatasan dengan tiga desa di Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir itu.

Pembangunan kembali dilakukan setelah BOPDT menggelar pertemuan dengan masyarakat, Minggu (15/9) kemarin.

“Pembangunan dilanjutkan kembali pada Senin (16/9) kemarin setelah sempat terhenti. Dalam pertemuan itu kita menerangkan dasar kita mengelola lahan itu diantaranya sertifikat HPL yang dikeluarkan KLHK. Sementara mereka (warga) tidak memiliki dasar apapun untuk mengklaim lahan yang akan dibangun jalan itu,” kata Direktur Utama (Dirut) BOPDT, Arie Prasetyo, kemarin.

Begitupun, dalam pertemuan tersebut pihak BOPDT mendengarkan semua masukan dari masyarakat.

Ia mengatakan, areal yang dikelola BOPDT itu diberikan oleh negara lewat berbagai peraturan terkait pelepasan lahan negara untuk dikelola dalam rangka pengembangan pariwisata Danau Toba.

Arie menjelaskan, sejak awal BOPDT memperoleh hak pengelolaan zona otorita.

Oleh Kementerian KLHK sudah dilepaskan dari kawasan hutan melalui SK Nomor 579 tahun 2016, kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya peta pelepasan hutan sesuai Keputusan Menteri KLHK Nomor 3917 tahun 2018.

“Kemudian dilanjutkan dengan proses penyusunan Analisis Dampak Lingkungan atau Amdal hingga keluarnya sertifikat hak pengelolaan lahan dari Kementerian ATR/BPN,” jelasnya.

Dalam proses, mulai dari awal hingga keluarnya sertifikat tersebut, luas lahan dari awal direncanakan menjadi zona otorita berkurang jauh dari sekitar 602 hektare menjadi 386,72 hektare.

Hal ini karena dalam kajiannya, terdapat beberapa luasan lahan yang harus dikeluarkan.

“Misalnya karena terdapat sumber mata air utama masyarakat, kemudian karena adanya daerah yang rawan bencana jika dibangun, sehingga dikeluarkan. Akhirnya luas kawasan yang menjadi zona otorita menjadi 386,72 hektare. Sertifikat lahan ini sudah kita terima dari kementeri ATR/BPN,” terangnya.

BOPDT juga sudah melakukan proses ganti rugi terhadap seluruh dampak ekonomi yang timbul atas pengelolaan zona otorita. Seluruh kegiatan ekonomi masyarakat di atas lahan milik negara diganti rugi sesuai dengan perhitungan yang dilakukan oleh tim penilai independen.

“Misalnya ada tanaman kopi atau tanaman buah lainnya milik mereka, kita ganti nilai ekonomisnya,” ungkap Arie.

Mengenai persoalan jalan, BOPDT berharap pembangunan yang pada tahap awal direncanakan sepanjang 1,9 Kilometer dapat berjalan lancar. Mereka menargetkan pembangunan jalan akan selesai akhir bulan ini.

“Setelah kita bermusyawarah dengan masyarakat, semoga pembangunan jalan ini selesai akhir September,” tegas Arie. (Diva Suwanda)