Medan  

BPRPI: PTPN II Harus Ganti Rugi 10 Ribu Hektare Tanah Masyarakat Rakyat Penunggu

Ketua Umum BPRPI Sumut Alfi Syahrin saat memberikan keterangan pers. Ist

MEDAN | Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) menuntut PTPN 2 harus membayar ganti rugi atas tanah seluas 10 ribu hektare yang berada di wilayah antara Sei (Sungai) Ular dan Sei Wampu.

Tanah itu adalah sah dikelola oleh masyarakat adat rakyat penunggu berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Pengadilan Tinggi hingga Putusan Kasasi Mahkamah Agung.

Hal itu disampaikan Ketua BPRPI Sumut Alfi Syahrin kepada wartawan di sela-sela aksi damai ratusan warga masyarakat adat dan petani yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Reforma Agraria (APARA) di Kantor  Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Medan,  dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional, pada Rabu (24/9/2025).

“Kami Masyarakat Adat Rakyat Penunggu menuntut PTPN 2 harus membayar ganti rugi, berdasarkan putusan pengadilan dan dilakukan sita jaminan dalam hal ini Kantor PTPN 2 sebagai jaminannya,” kata Alfi.

Untuk itu BPRPI Sumut juga mendesak Pengadilan Negeri Lubuk Pakam segera melakukan eksekusi putusan tersebut dan melakukan sita jaminan.

“Sampai kini kami masih menunggu kepastian kapan pengadilan melakukan eksekusi putusan itu,” ujar Alfi.

Pada bagian lain Alfi juga menyoroti persoalan-persoalan agraria lainnya di Sumut yang sudah puluhan tak kunjung diselesaikan pemerintah.

“Untuk Gubernur Sumatera Utara Pak Bobby Nasution, kami hanya menuntut hak kami dikembalikan. Jika pemerintah mau pake (tanah itu) mari duduk bersama rakyat. Kami berharap Pak Bobby bisa lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, antara kehidupan rakyat dan pembangunan,” pintanya.

Dalam aksi damai tersebut, massa APARA menuntut komitmen Bobby Nasution agar menyelesaikan berbagai konflik agraria di berbagai daerah di Sumatera Utara.

Berdasarkan pantauan tim media ini di lapangan massa membawa sejumlah hasil panen tanaman mereka sebagai simbol perjuangan hidup masyarakat adat dan petani atas tanah yang dikelolanya.

Sembari berorasi massa aksi yang terdiri dari Masyarakat Adat, melakukan tarian adat Batak menortor di depan Kantor Gubernur Sumut.

Massa mengatakan kalau buah dan hasil panen ini, di bawa dan akan diberikan kepada Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution.

Massa mendesak agar Gubernur atau Wakil Gubernur berkenan menemui mereka secara langsung dan tidak diwakilkan.

“Kami menolak jika Sekretaris Daerah yang menerima. Kmi sudah muak dengan kata-kata dari pihak perwakilan, yang selalu berkata akan disampaikan ke pimpinan. Setiap kegiatan aksi rakyat itu terus yang disampaikan,” Ucap Dastin salah satu koordinator aksi.

Mereka juga membawa data dan pemetaan konflik agraria di berbagai daerah, seperti Danau Toba, Deli Serdang, Langkat, dan Asahan.

Massa menuntut jawaban dan memberikan tenggat waktu kepada Gubernur Sumut agar menyelesaikan persoalan konflik agraria ini.

“Kami ingin tahu seberapa lama waktu yang dibutuhkan Gubernur Sumut Bobby dalam menyelesaikan konflik agraria ini yang sudah puluhan tahun. Kami butuh respons,” ucap Koordinator aksi dari atas mobil komando.

Dalam aksi damai tersebut tampak pula hadir beberapa pimpinan serikat buruh/pekerja Sumut, antara lain Syahrul Idrus dari Forum Buruh Madani Indonesia, Awaluddin Pane (Ketua DPW SB Kharisma Sumut), dan Faisal Siregar (Ketua DPP PPMI Madani Indonesia.

Berikut 8 poin tuntutan massa APARA :

  1. Pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria.
  2. Gubernur Sumut segera menetapkan dan merekomendasikan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) kepada pemerintah pusat.
  3. Penghentian segala bentuk penggusuran tanah petani dan masyarakat adat.
  4. Pengusutan tuntas mafia tanah dan korupsi agraria.
  5. Penghentian penerbitan izin HGU/HGB di atas tanah yang berkonflik.
  6. Penghentian keberlanjutan Proyek Deli Megapolitan yang dinilai mengancam belasan ribu petani dan masyarakat adat.
  7. Pemberian SK Pengakuan Wilayah Adat bagi kelompok masyarakat adat.
  8. DPRD meninjau ulang keberadaan beberapa perusahaan seperti PT Toba Pulp Lestari, PT Gruti, PT SSL/SRL, dan PT DPM yang dinilai merusak lingkungan. (Rel/OM-03)