Oleh : Laila Sari
BERDASARKAN data dari Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK), pada tahun ajaran 2019/2020 jumlah anak putus sekolah di tingkat SD sebanyak 59.443 anak, tingkat SMP 38.646 anak, tingkat SMA 26.864 anak, dan di tingkat SMK sebanyak 32.395 anak (gabungan SMA dan SMK 59.259 anak).
Padahal kita memahami bahwa setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan untuk pengembangan potensi, minat dan bakat dirinya agar mereka kelak dapat menjadi penerus bangsa yang memiliki kemampuan intelektual sehingga dapat dijadikan sumber daya manusia yang berpotensi dalam memimpin bangsa dan negara kearah yang lebih baik.
Tetapi ternyata banyak faktor yang akhirnya membuat anak-anak mengalami putus sekolah. Mulai dari faktor ekonomi keluarga, kurangnya kemampuan dan minat anak dalam mengikuti pendidikan di sekolah formal, kondisi tempat tinggal anak yang tidak memungkinkannya untuk bersekolah, pandangan masyarakat terhadap pendidikan, keadaan anak yang harus turut serta mencari nafkah, meminati bidang tertentu yang mengharuskan ia focus dan sebab lainnya.
Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu pendidikan alternatif yang dapat memberikan layanan Pendidikan dengan tetap memperhatikan kondisi dan situasi yang melatarbelakangi anak sulit berada di sekolah formal. Layanan pendidikan yang membuat anak tetap belajar di mana pun berada dan kapan pun waktunya. Pendidikan kesetaraan tidak hanya memberikan layanan pendidikan bagi anak yang tidak bersekolah akibat kemiskinan, keterpencilan, dan keterbelakangan, tetapi juga kepada yang memiliki keterbatasan waktu.
Untuk itulah pendidikan kesetaraan menjadi dasar yang penting bagi seluruh anak bangsa untuk mendapatkan layanan pendidikan, di mana pun berada dan kapan pun waktunya. Anak-anak Indonesia yang tetap memperoleh pendidikan, karena secara umum pendidikan diartikan sebagai komunikasi terorganisasi dan terjadi secara berkelanjutan untuk menghadirkan kegiatan belajar.
Dalam hal ini, pendidikan dapat terjadi dimana saja dan tidak dibatasi pada proses belajar mengajar di ruang kelas atau di lembaga pendidikan yang bernama sekolah. Pendidikan dapat terjadi di dalam keluarga, masyarakat atau pendidikan luar sekolah.
Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa, “pendidikan di Indonesia diselenggarakan dalam tiga jalur, yaitu pendidikan formal, nonformal dan informal”. Pendidikan nonformal merupakan alternatif bagi mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan belajarnya di jalur formal, mereka oleh pemerintah diberikan kesempatan untuk dapat memeroleh pendidikan melalui jalur nonformal yang disebut sebagai pendidikan kesetaraan.
Sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 ayat 3 dinyatakan bahwa “Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik”.
Berdasarkan fakta ini, maka negara berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan kesetaraan. Masih banyaknya anak usia sekolah yang tidak sekolah atau putus sekolah, serta masih banyaknya masyarakat yang sudah bekerja atau sudah berkeluarga tetapi masih ingin melanjutkan pendidikannya di tingkat SD/SMP/SMA di luar jalur sekolah nonformal (paket A, paket B, dan paket C), makin mengukuhkan pendidikan kesetaraan sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat.
Bahkan lima tahun terakhir ini pendidikan kesetaraan menjadi pilihan karena animo masyarakat cukup tinggi. Apalagi dengan diberlakukannya kurikulum merdeka di pendidikan kesetaraan semakin memperkuat keberadaan lembaga nonformal ini untuk menjalankan kurikulum khasnya yaitu pengembangan keterampilan dan pemberdayaan.
Seperti yang disampaikan oleh Mendikbudristek RI dalam (https://kemdikbud,go.id) bahwa “merdeka Belajar” adalah kemerdekaan berpikir. Nadiem A. Makarim selaku Menteri Pendidikan mengartikan merdeka belajar sebagai sebuah kebebasan berinovasi, kebebasan untuk belajar mandiri dan kreatif. Artinya sekolah, guru dan anak didik punya kebebasan dalam belajar dan mempersiapkan pembelajaran.
Pendidikan kesetaraan yang memiliki struktur kurikulum terdiri dari mata pelajaran umum (setara dengan mata pelajaran di pendidikan formal sesuai jenjangnya) serta kelompok pemberdayaan dan keterampilan sebagai ciri khas dari Pendidikan kesetaraan itu sendiri. Pada kelompok pemberdayaan dan keterampilan inilah tutor atau lembaga pendidikan kesetaraan dapat mengembangkan berbagai projek berbasis Profil Pelajar Pancasila.
Misalnya: kemampuan okupasional yang berupa keterampilan untuk bisa hidup yang disesuaikan dengan kemampuan dan usia perkembangan; kemampuan fungsional berupa kemampuan akademik, kemampuan mengelola diri, bersosial dan hidup di komunitas; kemampuan vokasional yang menyesuaikan dengan minat bakat di berbagai bidang pengembangan; dan kemampuan entrepreneuship; serta leadership.
Kurikulum merdeka semakin menguatkan warga belajar di pendidikan kesetaraan untuk tumbuh dan berkembang dengan prinsip belajar sepanjang hayat, belajar dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja dengan penyesuaian waktu dan sumberdaya yang begitu luas di sekitar anak. Bahkan dengan bantuan kemudahan internet anak lebih fleksibel dan lebih luas belajar dengan berbagai bidang dan dari negara manapun sesuai kebutuhannya. Melalui pengelolaan dan diskusi yang dapat dilakukan oleh pengelola lembaga pendidikan kesetaraan, orang tua dan warga belajar atau anak didik dengan lebih merdeka dan dilindungi undang-undang prinsip merdeka belajar semakin menguatkan Ketika diterapkan di pendidikan kesetaran. (***)