Lahan Kelompok Tani Arih Ersada Aron Bolon Diduga Diseruduk Mafia Tanah

MEDAN | Ratusan masyarakat petani tergabung Kelompok Tani Arih Ersada Aron Bolon (AEAB) menyesalkan terjadinya penyerobotan dan pengrusakan lahan pertanian masyarakat secara paksa oleh pihak pengembang lewat sekelompok mafia, Senin (15/2/2021).

Peristiwa tragis itu kembali mengingatkan perjuangan panjang dimasa lalu, berawal sejak tahun 1998 tanah seluas 102 Ha hingga kini tahun 2021 tanpa kepastian hukum yang jelas bagi masyarakat petani. Padahal tujuan masyarakat menguasai lahan hanya untuk bercocok tanaman palawija dan demi kelangsungan hidup.

Sementara pihak pengembang merasa diatas angin meraup keuntungan bisnis property dengan gampang mendirikan ribuan unit perumahan tanpa mengalami gangguan dari pihak manapun, padahal lahan exs PTPN II, seluas 102 Ha diluar HGU sama statusnya dengan lahan kelompok tani, rupanya mafia tanah masih menjamur.

Hal itu diungkapkan Sekretaris Kelompok Tani Arih Ersada Aron Bolon, Rembah Keliat (49) didampingi ratusan anggota lainnya usai menyaksikan lahan yang mereka tanami dirusak oleh sekelompok mafia tanah berkedok pengembang property.

Rembah menjelaskan Surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor : 593/734/PUMDA, kepada Gubernur Sumatera Utara, perihal penelitian data dan bukti kepemilikan Kelompok Tani Pernampem Durin Tonggal Tebing Ganjang Pancur Batu, tanggal 6 Juni 2000 menyatakan lahan seluas 1.534,37 Ha agar di distribusikan kepada rakyat penggarap sesuai RDP Komisi A DPRD Deli Serdang bersama Kanwil BPN Sumut pada tanggal 12 Augustus 1999 silam.

Sekretaris Kelompok Tani Arih Ersada Aron Bolon mengatakan disaksikan aparat penegak hukum, pihak pengembang melakukan pengrusakan tanaman masyarakat, Kamis (11/2/2021) sekira pukul 10.00 – 13.00 WIB, tanpa pemberitahuan kepada Kelompok Tani sehingga tanaman seluas 6 Ha, seketika diseruduk alat berat hingga rata dengan tanah.

“Kejadiannya, pagi sekitar pukul 10.00 – 13.00 WIB. 5 alat berat langsung membeko lahan tanaman palawija seluas 6 Ha. Lahan yang kami usahai seluas 30 Ha berisi tanaman rambutan, kopi, jagung, ubi, jagung, cabe dan sebagian kebun sawit. Modal yang kami keluarkan cukup besar dan dari lahan inilah kami bisa menyekolahkan anak-anak hingga ke perguruan tinggi,”ujar Rembah kepada orbitdigitaldaily.com, Jumat (12/2/2021).

Bersama anggota kelompok tani, ia mengungkapkan alasan mafia tanah itu melakukan pembersihan lahan karena telah mendapat kuasa dari pemilik tanah, yaitu PT Limas untuk menjembatani penyelesaian pembebasan tanaman. Namun faktanya justeru merusak tanaman masyarakat disaksikan pihak aparat. Padahal penguasaan fisik eks PTPN II tanpa HGU itu dikuasai kelompok tani sejak tahun 1998 lalu.

“Kami sudah bercocok tanam sejak tahun 1998. Namun hingga kini belum pernah mendapat kesempatan memiliki sertifikat hak milik dan dari lahan inilah kami mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Kami sangat kecewa dan sedih melihat kinerja pemerintah karena lebih berpihak kepentingan pengembang dan mafiah tanah,” ungkapnya sedih didampingi kaum ibu berusia uzur.

Penasehat Kelompok Tani Arih Ersada Aron Bolon, Sutrisno Pangaribuan ST menyebutkan tindakan sepihak yang dilakukan pihak pengembang merupakan tindakan melawan hukum karena merusak tanaman masyarakat.

Ironisnya, sambung mantan anggota DPRD Pemprov Sumut itu masyarakat selama ini berjuang untuk dapat bertani bukan untuk membangun property. Jadi saat ini masyarakat diperhadapkan soal masalah penyerobotan dan pengrusakan tanaman yang diduga dilakukan oleh kelompok mafia tanah.

“Tindakan sekelompok orang yang kami duga adalah kelompok mafia tanah, hingga membuat masyarakat menangis dan ketakutan. Jika tindakan para mafia tanah masih berlanjut, masyarakat juga sepakat untuk melawan. Untuk itu pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara memberi perlindungan hukum agar kepercayaan masyarakat terhadap negara, sebab negara harus betul – betul melindungi warganya, “tegas Sutrisno Pangaribuan diaminkan masyarakat dilokasi kejadian.

Politisi PDI- Perjuangan mengutarakan dimana rakyat berdiri disitulah kami berdiri. Kita sadari pengelolaan birokrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia masih ditemukan adanya ruang bagi kelompok yang memiliki kepentingan. Tapi sayangnya ruang itu jarang berpihak kepada rakyat.

“Jangan beranjak sedikitpun dari tempat ini. Kedatangan kami membuktikan hadir membela kepentingan rakyat. Apapun harus kita lakukan tetaplah semangat berjuang. Soal masih adanya SKT dikeluarkan pemerintah setempat yang seharusnya tidak dikeluarkan lagi sejak 2004, kita minta penegak hukum melakukan tindakan tegas,” terangnya.

Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Hawari Hasibuan menjelaskan pihaknya secara nasional telah melaporkan pengaduan kelompok Tani Arih Ersada Aron Bolon kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / BPN RI terkait terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) di tanah masyarakat Desa Durin Tonggal, sebelumnya tanah tersebut dikuasai PTPN II secara paksa pada tahun 1967.

Setelah Reformasi, KPA memperjuangkan pengembalian tanah tersebut dimana hasilnya pada tahun 2008 Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara menyatakan diatas tanah area Desa Durin Tonggal belum pernah diterbitkan hak atas tanah apapun termasuk HGU.

Namun, tahun 2008 lahan seluas 102 Ha awalnya dikuasai masyarakat, kemudian diklaim PT. Indo Palapa dan PT Anugerah Multi Sumatera dengan dasar Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) hingga dibangun perumahan sementara Kelompok Tani Arih Ersada Aron Bolon tidak pernah merasa ada proses ganti rugi dari pihak pengembang.

“Kami sudah mempertanyakan proses terbitnya SHGB yang dimiliki PT. Indo Palapa maupun PT Anugerah Multi Sumatera. Sementara anggota anggota kelompok tani tidak pernah merasa ada proses ganti rugi. Birokrasi kita ini memang masih belum sempurna sehingga ada ruang baru bagi sekelompok orang tertentu, “tutur Hawari Hasibuan saat memberi pemahaman dihadapan ratusan anggota kelompok tani.

Kemudian, salah satu anggota Kelompok Tani Arih Ersada Bolon mengungkapkan telah menguasai lahan sejak 1998 seluas 102 ha. Jadi, upaya penyerobotan ini merupakan peluang bagi untuk menanyakan legalitas pengembangan sehingga berani menggusur masyarakat dari lahan pertanian. Apalagi
lahan ex PTPN banyak kelemahan hukumnya.

Reporter : Toni Hutagalung