HAMPARAN PERAK |
Pandai tak terikut, bodoh tak terajar. Pepatah ini sepertinya perlu menjadi acuan bagi para pengkritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro masyarakat.
Namun, para penggiat kebijakan pemerintah yang memang dinilai tidak pro masyarakat seharusnya juga mengetahui dan memahani, tentang etika mengkritik atau undang-undang dan peraturan yang mengatur tata cara menyampaikan kritik tersebut.
“Artinya, jangan gara-gara mengkritik, apalagi melalui media sosial, akhirnya bisa gol. Karena ada undang-undang dan aturan bisa menjerat si pengkritik di dunia maya itu keranah hukum”, sebut Ketua DPC Federasi Advokat Republik Indonesia (FERARI) Kabupaten Langkat Ukurta Toni Sitepu, SH yang akrab disapa UTS.
Hal tersebut dikatakan UTS menanggapi pertanyaan orbitdigitaldaily.com terhadap kritikan-kritikan masyarakat di media sosial (medsos) terhadap Pemerintah Desa (Pemdes) Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang yang dipimpin Ramiyadi.
Apalagi, ungkap UTS, kritikan di medsos tersebut adanya unsur kebencian, penghinaan, permusuhan, pencemaran nama baik, suku, agama dan antar golongan.
“Ini jelas bisa dijerat sesuai dengan Undang-Undang ITE Pasal 27 ayat 3 dengan ancaman hukuman pidana 4 tahun penjara dan Pasal 28 ayat 2 dengan ancaman hukuman pidana 6 tahun penjara. Itu belum lagi dendanya”, ujar Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perlindungan Anak dan Perempuan Indonesia (YLBH PAPI) itu.
Oleh karena itu, UTS mengingatkan, agar masyarakat jangan kebablasan dalam mengunggah status, komentar atau kritikan di media sosial.
Perlu saya sampaikan, masyarakat jangan beranggapan bahwa media sosial itu menjadi tempat untuk mengkritik. “Seperti, berita yang terbit media online, media siber, media elektronik maupun media cetak yang kerap sekali mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro rakyat”, pesannya.
Sebab, kabar atau informasi yang terbit di media online, siber, elektronik dan cetak merupakan sebuah karya jurnalistik yang dilindungi dan diatur oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers serta Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
“Makanya janganlah karena adanya Medos terus masyarakat itu sesuka hatinya membuat tulisan, seperti layaknya seorang jurnalistik. Ini bisa celah bagi seseorang yang keberatan. Kalau udah keberatan, lapor polisi, awas bisa gol”, sebut UTS sambil tersenyum.
Reporter : Dodi Hamzah Pohan