Didakwa Suap, Eldin Langsung Eksepsi

MEDAN – Walikota Medan nonaktif T. Dzulmi Eldin, menjalani sidang perdana di Ruang Cakra Utama Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (5/3/2020).

Eldin disidangkan terkait kasus suap jabatan dan proyek. Dalam dakwaan jaksa, Eldin disebutkan menerima uang setoran dari sejumlah kadis dan pejabat Eselon II sebesar Rp2,1 miliar.

Jaksa KPK, Iskandar Marwanto menyebutkan, kasus suap Eldin berawal dari kekurangan anggaran kegiatan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi).

“Terdakwa pada pertengahan bulan Juli 2018 menerima laporan dari Samsul Fitri tentang dana yang dibutuhkan untuk keberangkatan kegiatan Apeksi di Tarakan Kalimantan Utara sejumlah Rp200 juta. Namun yang ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak mencapai jumlah tersebut,” kata jaksa di hadapan hakim ketua Abdul Azis.

Mendapat laporan itu, terdakwa kemudian memberikan arahan untuk meminta uang kepada Para Kepala OPD/ Pejabat Eselon II dan Samsul Fitri menyatakan kesanggupannya.

“Samsul Fitri di hadapan terdakwa kemudian membuat catatan Para Kepala OPD/Pejabat Eselon II yang akan dimintai uang serta perkiraan jumlahnya yang mencapai Rp240 juta. Atas catatan perhitungan Samsul Fitri tersebut terdakwa menyetujuinya,”urai jaksa.

Namun ternyata, permintaan Eldin melalui Samsul Fitri, hanya terkumpul Rp120 juta. Dalam kesempatan lain, permintaan Dzulmi Eldin ternyata terus berlanjut, hingga yang terakhir ia meminta uang pegangan dan perjalanan selama menghadiri undangan acara Program Sister City di Kota Ichikawa Jepang pada Juli 2019.

Penghitungan kebutuhan dana akomodasi kunjungan ke Jepang tersebut sejumlah Rp1,5 miliar. Sedangkan APBD Kota Medan mengalokasikan dana hanya Rp500 juta. Edin kemudian mengarahkan Samsul Fitri untuk meminta uang kepada Kepala OPD yang akan ikut dalam rombongan ke Jepang tersebut.

Keseluruhan uang yang dikumpulkan terdakwa dari para kepala OPD yang disetorkan ke Dzulmi Eldin, totalnya mencapai Rp2,1 miliar lebih.

“Perbuatan terdakwa diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.” ucap jaksa

Atas dakwaan jaksa, terdakwa melalui pengacaranya Junaidi Matondang, langsung mengajukan eksepsi. Ia menyebut, ada kekeliruan KPK dalam menulis surat dakwaan.

“Syaratnya harus cermat, singkat, jelas. Kami melihat ada absrutlitas yang ada didalam surat dakwaan, dimana ada keterangan saksi yang ada didalam surat dakwaan itu,” ucapnya.

Ia menyatakan bahwa kekeliruan tersebut didapatkan dalam surat dakwaan yang menjelaskan Dzulmi Eldin mendapatkan uang Rp 2, 1 miliar padahal dalam hutang tersebut hanya mencapai Rp1,4 miliar.

Ia berharap, dengan eksepsi yang diajukan dapat menyempurnakan isi dakwaan yang harusnya menjadi patron persidangan. “Kami berharap, eksepsi yang kami ajukan ini, bukan untuk mencari-mencari kesalahan namun mencari kesempurnaan, karena ada ketidak cermatan dalam surat dakwaan tersebut. Karena surat dakwaan seharusnya itu menjadi patron dari persidangan inikan, maka agar tidak kabur kita menangkap ya,” pungkasnya.

Saat disinggung mengenai nama Dzulmi Eldin yang dibawa-bawa dalam sidang Isa Ansyari dan Samsul Fitri sebagai pengendali tindak pidana korupsi, pensihat hukum menyatakan itu adalah hak mereka.

“Ya itukan memang hak mereka, itukan kata mereka. Nanti kita buktikan, kan itu masih tuduhan, emang kalau mereka menjawab seperti itu Dzulmi Eldin bersalah? Kan tidak. Dzulmi Eldin juga memiliki hak untuk menyatakan bahwa itu keliru,” ujarnya. (Diva Suwanda)