Ragam  

Kebebasan Pers: Retorika Istana atau Komitmen Nyata?

LANGKAH mendadak Detik.com menghapus sebuah opini kritis terkait transisi kekuasaan menuju pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto menuai gelombang kecemasan publik. Tulisan tersebut lenyap tak lama setelah tayang, tanpa keterangan dari redaksi—memunculkan dugaan adanya tekanan, baik dari dalam redaksi maupun kekuatan eksternal, yang memengaruhi independensi media.

Ironisnya, insiden ini bukan kasus tunggal. Sebelumnya, hanya dalam rentang empat hari, redaksi Tempo mengalami tiga bentuk teror yang mencolok: kiriman kepala babi, bangkai tikus, dan doxing terhadap jurnalisnya. Serangan semacam ini menjadi alarm keras bagi ekosistem pers Indonesia, yang semakin hari terlihat terancam bukan hanya secara fisik, tapi juga secara digital dan psikologis.

Pihak Istana memang telah merespons. Lewat juru bicara, mereka menyatakan bahwa penghapusan opini tersebut “sebenarnya tidak perlu terjadi.” Meski pernyataan ini terdengar seperti angin segar bagi kebebasan berekspresi, banyak pihak memandangnya tak lebih dari manuver citra. Sebab, akar masalahnya—kemungkinan tekanan sistemik terhadap ruang kritik—belum juga disentuh secara serius.

Dari rangkaian peristiwa ini, ada tiga hal krusial yang patut dicatat:

  1. Ada kecenderungan kontrol narasi di media, bukan melalui pelarangan terang-terangan, melainkan lewat tekanan implisit yang tak kalah berbahaya.
  2. Respons pemerintah masih bersifat simbolik, terkesan menjaga wibawa publik tanpa menawarkan solusi konkret atas perlindungan kebebasan pers.
  3. Kebebasan pers tidak cukup diatur secara legal, tapi juga perlu dijamin lewat ruang kerja yang aman dan nyaman bagi para jurnalis.

Fakta di lapangan memperkuat kekhawatiran ini. Indeks Kebebasan Pers Indonesia versi Reporters Without Borders (RSF) untuk tahun 2024 anjlok ke posisi 111 dari 180 negara. Tak hanya itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun, termasuk satu kasus pembunuhan. Bentuk kekerasan itu beragam: mulai dari intimidasi, teror, pelarangan liputan, hingga serangan digital dan peretasan. Mirisnya, aparat kepolisian disebut sebagai pelaku terbanyak.

Lebih jauh, jurnalis juga kerap menghadapi tekanan ekonomi dan politik yang memaksa mereka menerapkan swasensor—memilih diam atau menyensor diri sendiri demi menghindari risiko. Jika tekanan halus ini dibiarkan tanpa penanganan serius, maka Indonesia berisiko menghadapi kemunduran demokrasi secara perlahan. Pemerintahan baru harus menjawab tantangan ini dengan langkah nyata.

Setidaknya, ada tiga hal mendesak yang perlu dilakukan:

  1. Menjamin transparansi kebijakan dan perlindungan hukum yang tegas bagi jurnalis,
  2. Memperkuat lembaga pengawas media yang benar-benar independen dari kuasa politik atau modal,
  3. Menjaga media dari intervensi ekonomi-politik agar tetap bisa menjalankan fungsi kontrol sosial.

Karena sejatinya, demokrasi tak cukup hanya dengan penyelenggaraan pemilu lima tahunan. Demokrasi hidup ketika warga negara bisa bersuara tanpa rasa takut. Untuk itu, kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalistik harus menjadi pondasi yang tak boleh dikompromikan. (*)