Catatan: Gus Ritonga
(Wartawan Orbit, Alumnus S2 Pendidikan Islam Program Pascasarjana UIN Sumut)
BAGI saya, kebijakan Sekolah 5 Hari atau Full Day School yang akan diberlakukan oleh Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution pada tahun ajaran baru mulai medio Juli 2025 mendatang, bukan hal yang mengejutkan, apalagi istimewa. Putri bungsu saya bahkan sudah akan memasuki tahun ketiga menjalaninya di salah satu SMP swasta di pinggiran Kota Medan. Menurut perkiraan saya, polanya tak akan berbeda dengan Sekolah 5 Hari yang akan diterapkan Bobby lewat Dinas Pendidikan di jenjang satuan pendidikan tingkat SMA dan SMK di Sumut nantinya. Selain pemadatan jam pelajaran di kelas karena hari Sabtu sekolah diliburkan, selebihnya anak-anak akan lebih banyak diarahkan, didorong, dan dibimbing untuk mengikuti kegiatan-kegiatan berbasis minat dan pengembangan diri, ekstra/intra-kurikuler, formal/nonformal.
Sejauh yang saya amati dan rasakan, penerapan Sekolah 5 Hari di sekolah tempat putri bungsu saya menimba ilmu, berjalan cukup baik. Dampaknya tercermin dari kecerdasan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik) putri bungsu saya yang menunjukkan perkembangan positif, termasuk terhadap aktivitas pembelajaran keagamaan dan capaian prestasinya dalam kegiatan-kegiatan terkait pengembangan diri berbasis minat. Namun tentu saja banyak faktor pendukung dari berhasil-tidaknya target atau tujuan proses pembelajaran pola Sekolah 5 Hari. Diantaranya yang paling utama: kesiapan orangtua mendukung proses pembelajaran anak–termasuk secara finansial–karena Sekolah Seharian tidak seharusnya serta merta menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak ke sekolah.
Kemudian, saya juga ingin menegaskan bahwa tidak semua sekolah bisa serta-merta menerapkan pola Sekolah 5 Hari. Sekolah seharian jelas bukan tanpa konsekuensi. Pengeluaran orangtua bertambah—untuk makan siang, jajan, untuk kegiatan ekstrakurikuler, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sementara Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang akan menjadi penopang, nyatanya masih menyisakan banyak masalah teknis di lapangan. Di keluarga dengan ekonomi pas-pasan, tambahan beban pengeluaran ini tentu terasa memberatkan.
Kita juga harus realistis melihat kondisi di desa tidak sama dengan di kota. Banyak orangtua masih membutuhkan tenaga anak-anaknya untuk membantu pekerjaan di sawah atau di ladang– menyiram sayuran, mencari rumput, menggembala ternak, dan sebagainya. Sekolah 5 hari, yang artinya anak-anak berada di sekolah dari pagi hingga sore, bisa memutus rantai peran produktif anak di rumah tangga petani—realita sosial yang pemerintah seolah abai.
Sekolah seharian juga akan membuat anak berpotensi kehilangan momen-momen berharga karena tak ada lagi waktu luang di sore hari untuk bersosialisasi dengan teman-temannya–bermain, atau mengejar hobi, yang juga penting untuk perkembangan sosial dan emosional mereka–karena harus menjalani jadwal kegiatan yang padat di sekolah.
Selain itu, tidak semua sekolah punya kesiapan infrastruktur. Musala, kantin, sarana olahraga, fasilitas praktikum, bahkan tenaga pendidik yang memadai belum merata. Beban administratif guru ASN/non-ASN yang semakin menumpuk juga belum ditangani dengan tuntas. Sementara Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis (Juklak/Juknis) Sekolah 5 Hari pun belum jelas. Lantas, mengapa kebijakan ini seperti tergesa-gesa ingin diberlakukan secara menyeluruh?
Satu hal yang membuat saya bertanya-tanya—apakah ini murni demi pendidikan anak-anak kita, atau hanya gema kecemburuan dari segelintir ASN yang ingin Perpres Nomor 21 Tahun 2023 tentang Hari Kerja ASN selama 5 hari, yang telah sejak lama berlaku bagi ASN di kantor-kantor pemerintahan di Sumut, juga diberlakukan permanen kepada guru ASN? Entahlah. Jika andainya demikian, ini bukan kebijakan pendidikan, tapi sekadar manuver administratif–menguntungkan sebagian, tapi merugikan sebagian lainnya: tidak adil!
Saya juga tidak ingin kita buru-buru bersikap apriori, menyimpulkan : Sekolah 5 Hari tidak lebih bagus dari Sekolah 6 Hari, atau Sekolah 6 Hari lebih baik dari Sekolah 5 Hari.
Kebijakan sebesar ini seharusnya lahir dari kajian matang dan uji coba yang bertahap. Bukan ujug-ujug digulirkan Pemprov Sumut tanpa mempertimbangkan kesenjangan daerah, kemampuan sekolah, dan daya dukung orangtua peserta didik. Pendidikan bukan proyek instan. Nasib dan masa depan anak-anak kita terlalu berharga untuk dijadikan bahan eksperimen! (*)