Langkat-ORBIT: Dahulunya, warga Indonesia memiliki semangat gotong-royong yang baik dibanding pada masa sekarang. Semangat itu hampir kian pupus. Pola dan gaya hidup orang-orang sekarang ingin serba mudah, instan.
Lambat laun semangat saling tolong menolong antar sesama warga kian terpinggirkan oleh sikap yang individualis dan matrealis. Akibatnya, kesenjangan sosialpun kian parah.
Lihatlah kampung Matfa. Jika Anda berkunjung ke tempat ini, Anda akan menemukan semangat gotong royong yang sangat luar biasa. Anda akan mengingat Indonesia pada masa-masa lalu. Masa di era 80-an dan 90-an. Tidak ada sikap mau menang sendiri, tidak berjuang sendiri sendiri, komunikasi antar warga yang masih tergaja satu sama lainnya.
Perkampungan ini berdiri pada 2012 lalu. Pendirinya adalah seorang pria yang masih sangat muda, Tuwan Imam. Dia merupakan penerus dari ayahandanya yang bernama KH Ali Masud yang oleh para pengikutnya dikenal dengan sebutan Tuan Guru.

Tiga bulan sejak ayahnya mangkat, dia dan beberapa murid lainnya mendirikan kampung ini Majelis Ta’lim Fardhu Ain Indonesia (Matfa), berada di Kelurahan Telaga Said, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat.
“Tuwan Imam yang mendirikan kampung ini dengan semangat gotong royong. Tuwan Imam hampir tidak mau. Beliau ragu akan timbulnya fitnah dikemudian hari. Kami memberinya semangat dan meyakinkan dirinya untuk membangun kampung ini dengan semangat gotoang royong.” kata salah satu murid Tuan Guru, Syekh Sani Ritonga yang kini memimpin Yayasan Tuwan Imam.
Kepada Harian Orbit, Syehk Sani mengatakan, upaya mendirikan kampung ini cukup berat. Tuwan Imam, yang masih berusia 23 tahun pada saat itu takut dengan gagasan ini. Hanya ada satu syarat diajukan Tuwan Guru.

“Kalau tidak memakan harta penduduk, saya mau,” kata Syekh Sani menirukan permintaan Tuwan Guru di kala itu.
Kampung Mafta berangsur berdiri dan kian mantap dengan semangat gotong royongnya. Sistem pemerintahannya tidak ada yang melenceng dari aturan negara ini. Semua diatur dengan sistem pemerintahan mulai dari bupati hingga kepala lingkungan di Kabupaten Langkat.
Kehidupan guyub dan
penuh persaudaraan begitu terasa di kampung ini. Semuanya terlihat
saling bahu membahu memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Sejumlah warga juga menjalankan beberapa usaha bersama. Mulai dari perdagangan, perkebunan, pertanian, pertambangan, perikanan, pendidikan, kesehatan, dan usaha lainnya. Segala jenis usaha yang dikelola dan dijalankan penduduk setempat.
Hasilnya langsung disetorkan kepada badan pengelola keuangan bernama baitul mal. Baitul mal sendiri merupakan bank tempat sirkulasi semua uang yang keluar-masuk di kampung tersebut.
“Uang yang masuk ke dalam baitul mal itulah yang nantinya dipergunakan untuk membeli semua kebutuhan warga. Mulai dari kebutuhan yang paling besar, seperti logistik warga, hingga kebutuhan kecil seperti membeli peralatan mandi dan pakaian warga,” ujar Syekh Sani.
Uniknya, setiap penduduk tidak perlu repot untuk makan. Setiap hari ada sekitar 25 ibu-ibu yang bertugas menyiapkan masakan untuk 1.500 lebih penduduk kampung. Mereka bekerja dalam tiga shift. pagi, siang, dan sore. Dalam sehari, para ibu bisa menghabiskan sekitar 200 kilogram beras untuk tiga kali makan.
Lauk pauk dan sayur yang dimasak para ibu berasal dari hasil bumi kampung mereka sendiri. Setiap warga bergotong royong menanam kebutuhan makanan untuk orang-orang se-kampung.
Jika ada hasil panen lebih, barulah warga akan menjualnya. Sejumlah rumah warga ada yang sibuk membuat aneka panganan ringan, seperti donat dan keripik. Penganan itu dibuat untuk dijual.
Kampung Mafta dibangun dengan nilai kasih sayang. Nilai itu sejalan dengan kebiasaan umat Islam memulai sesuatu dengan bacaan bismillah.
Andai saja setiap desa di Indonesia dijalankan dengan semangat gotong royong seperti ini, bisa dipastikan tidak ada kecemburuan sosial seperti yang terjadi pada saat ini. OD-03