Medan magnet Bumi digunakan sebagai alat navigasi sejumlah makhluk hidup, seperti beberapa spesies burung dan penyu.
Namun tahukah kita, manusia ternyata juga memiliki kepekaan serupa, walau tidak secanggih hewan-hewan tersebut. Seperti yang diungkapkan Joseph Kirschvink, peneliti dari California Institute of Technology.
“Kita, sebagai spesies, tidak kehilangan sistem sensor magnetik seperti yang pendahulu kita (jutaan tahun lalu) miliki. Kita bagian dari biosfer magnetik Bumi,” ujar Joseph Kirschvink, sebagaimana dikutip dari The Guardian, Rabu (20/3/2019).
Ia, bersama koleganya dari Amerika Serikat dan Jepang, menjelaskan bagaimana mereka melakukan penelitian terkait dengan kemampuan manusia memanfaatkan medan magnet. Tim peneliti tersebut membangun ruang kecil yang memiliki enam sisi.
Ruangan tersebut memiliki dinding yang terbuat dari aluminium untuk menjadi pelindung dari gangguan elektromagnetik. Pada dinding tersebut juga disematkan kumparan untuk mengaliri medan magnet dengan kekuatan kurang lebih sama sebagaimana Bumi miliki.
Lalu, tiap partisipan akan diminta untuk masuk ke dalam ruangan tersebut dan duduk di bangku kayu dengan arah menuju ke utara. Selama eksperimen itu, tim peneliti mengukur gelombang otak partisipan menggunakan alat bernama elektroensefalografi (EEG).
Dalam beberapa eksperimen, partisipan akan mendapat medan magnet yang dialiri hanya mengarah ke satu arah secara tetap, sedangkan yang lainnya merasakan medan magnet yang arahnya diputar.
Ada juga yang tidak dialiri medan magnet sama sekali, hanya merasakan yang dihasilkan Bumi secara natural. Tiap partisipan tidak mengetahui mana eksperimen yang akan mereka jalani.
Hasilnya, dari 34 orang dewasa yang menjadi partisipan, terungkap bahwa sejumlah skenario memancing terjadinya penurunan terhadap gelombang alfa pada otak partisipan. Itu merupakan tanda yang mengarah ke pemrosesan informasi oleh otak.
Hal ini muncul ketika medan magnet yang dialiri mengalami perubahan arah, misalnya dari utara ke sebelah kanan atau kiri, atau diarahkan ke bawah lalu diputar tidak mengikuti jarum jam. Kirschvink mengatakan respons dari otak partisipan mirip dengan saat manusia ketakutan, hal ini terkait dengan sadarnya mereka terhadap perubahan tak diduga pada lingkungan.
Satu catatan, tingkat kekuatan respons dari masing-masing partisipan memang berbeda-beda. Walau demikian, ini tetap memberikan petunjuk mengenai bagaimana sistem magnetoreception (kemampuan mendeteksi medan magnet) yang dimiliki manusia.
Menariknya, laporan penelitian ini juga menyebut bahwa manusia bisa menyebut mana arah utara atau selatan yang melibatkan sel khusus berisikan kristal berbasis besi. Kristal tersebut berputar layaknya jarum kompas, membuka atau menutup di pori-pori di dalam sel, dan memengaruhi sinyal yang dikirim ke otak.
Walau demikian, penelitian lebih lanjut disebut perlu dilakukan lagi. Salah satunya dengan melibatkan partisipan dari belahan Bumi bagian selatan, mengingat seluruh partisipan penelitian ini berasal dari belahan Bumi bagian utara yang diperkirakan selnya sudah “nyetel” dengan medan magnet Bumi yang diterimanya.
sumber: detikcom.