Singkil-ORBIT: Sejumlah penggiat lingkungan sudah mengkaji dampak dari rencana pembangunan PLTA di Kota Subulussalam. Selain merusak lingkungan, juga berdampak memutus jalur transportasi sungai masyarakat yang menghubungkan 4 kabupaten, di antaranya, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Selatan dan Aceh Tenggara.
Para penggiat lingkungan juga menantang para pendukung rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) untuk buka-bukaan data potensi dampak terhadap lingkungan.
Menurut Beni Fahrijal, Sekjen Gerakan Pecinta Alam G-PAL Kota Subulussalam, Selasa (2/7/2019) mengatakan, pihaknya memiliki data potensi dampak negatif soal rencana pembangunan PLTA ini.
Bukan hanya berisiko pada perusakan lingkungan, tapi juga akan memutus jalur transportasi jalur sungai di antara 4 kabupaten/kota. Yakni, antara Kota Subulussalam, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Tenggara, dan Aceh Selatan.
“Ini jelas bertentangan dengan arah kebijakan RTRW Aceh 2013-2033, yang merencanakan untuk menghubungkan wilayah-wilayah ini dengan memanfaatkan sungai sebagai infrastrukstur transportasi, melintasi Muara Situlen, Gelombang, dan Singkil,” jelas Beni.
Ketua Komunitas Pemuda Pecinta Alam, Komppas Subulussalam, Amri Purnama juga menyatakan pihaknya sudah merekapitulasi sejumlah potensi dampak negatif yang akan terjadi bila PLTA ini tetap dibangun. Salah satunya soal kesenjangan ekonomi.
“Kita berkaca saja dari kondisi sebagian besar masyarakat papua hari ini, apakah ekonomi mereka membaik sejak adanya perusahaan raksasa disana? atau yang paling dekat saja, Aceh Utara, PT Arun ada di sana. Tapi silakan searching di google, Aceh Utara adalah Kabupaten termiskin di Aceh berdasarkan data BPS Aceh per September 2017,” ungkap Amri.
Pembina Komppas Subulussalam, Roni Rahendra bahkan menyebutkan sejumlah penggiat lingkungan di Subulussalam sudah berkumpul dan mendiskusikan soal ini.
“Betul, kemarin kami dari beberapa lembaga dan komunitas penggiat lingkungan berkumpul di sungai Lae Kombih membahas ini, intinya kami menolak. Sebab rencana pembangunan PLTA di areal ini sangat berpotensi merusak areal hutan lindung, kawasan ekosistem Leuser, dan wilayah hutan lain disekitarnya,” ujar Roni, yang meminta semua pihak untuk peka dan mencari tahu lebih jauh tentang gejala-gejala alam yang terjadi akibat kian rusaknya alam.
“Kami minta semua pihak untuk pikirkan masa depan anak cucu kita, pemanasan global itu nyata, sadar atau tidak kita sedang merasakan dampaknya, janganlah diperburuk lagi,” sebutnya.
Menanggapi protes tersebut, Komisaris PT Atmo Daya, Mukmin Widyanto mengatakan, pihaknya bersama PT Hyundai Engeneering memiliki pengalaman di beberapa tempat dalam pembangunan PLTA.
Katanya, pihaknya akan mengusulkan perubahan zonasi ke Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) dan Kementerian Lingkungan Hidup dari zona inti ke zona khusus. Sehingga lokasi kawasan hutan lindung tersebut bisa digunakan untuk proyek PLTA.
“Jadi pembangunan PLTA ini tidak melanggar, karena zonasinya sudah dibuat,” jelasnya.
Sebelumnya, rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Lawe Alas/Lae Soraya berkapasitas 126 MW diperkirakan menelan anggaran mencapai Rp6 triliun, oleh Konsorium PT Atmo Daya Energi-Hyundai Enggineering-Saman Corporation, menyampaikan pemaparan terkait rencana pembangunan PLTA tersebut, yang berlangsung di Aula LPSE Kantor Walikota Subulussalam 28 Juni 2019.
Sejumlah penggiat lingkungan di Kota Subulussalam pun langsung memprotes terkait rencana pembangunan mega proyek PLTA itu karena dikhawatirkan akan merusak lingkungan dan berdampak pada keseimbangan kawasan ekosistem Leuser, karena merambah wilayah hutan lindung.
Pemaparan kegiatan itu dibuka Wali Kota Subulussalam, H Affan Alfian Bintang dihadiri Wakil Wali Kota Salmaza, Ketua dan anggota Komisi B DPRK, H. Luthan dan Supriyono. Kemudian Asisten II Sekdako Lidin, Kepala KPH wilayah VI Irwandi. Dan sejumlah kepala dinas terkait, serta pihak perusahaan. (Ao-09/10)