Lebih Baik Mati Daripada Hidup Ditindas Premanisme “Warga Langkat Merasa Belum Merdeka”

MEDAN – Bertahun-tahun warga Desa Tanjung Lenggang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat tidak mendapatkan rasa aman dan tentram akibat ulah gerombolan premanisme yang semakin merjalela dan meresahkan.

Masyarakat selalu dihantui rasa ketakutan akibat aksi premanisme yang membuat onar, penganiayaan, mencuri hasil kebun maupun ternak dan bahkan sampai merampas tanah masyarakat.

Berawal peristiwa penyekapan yang diduga dilakukan sekelompok preman berinisial GO, AL, AM dan LE, di sebuah gubuk terhadap seorang ibu muda bernama Septi (14) dan anak balitanya MF (1,5) pada tanggal 9 Januari 2020 sekitar pukul 11.00WIB lalu. Yang berlangsung sampai pukul 24.00WIB dini hari.

” Awalnya saya ditelpon suami, katanya dia ditangkap. Karena tak ada kreta ga jadilah jumpai suami, satu jam kemudian datanglah si Gojo jemput kami ke klinik karena anak saya kurang sehat. Selanjutnya kami dibawa ke pantai, gubuk tempat markas mereka, lalu kami ditinggalkan begitu saja. Gojo dan Alung pergi jemput suamiku, “kata Septi kepada Orbitdigitaldaily.com saat konfrensi pers di kantor LBH Medan, Jl Hindu Medan, Senin(20/1).

Didampingi, Syaidah bundanya, Septi tampak trauma dan pucat menjelaskan peristiwa pahit yang dialami bersama buah hatinya, selama dalam penyekapan sadis gerombolan preman tersebut.

” Saat digubuk, kami tak dikasih makan maupun minum, ditambah lokasi kurang layak dan kondisi hujan membuat pakaian basah kuyup termasuk bayi saya. Akhirnya saya bisa keluar dari sekapan itu dengan menumpang truck hingga bisa turun dirumah kades Desa Tanjung Lenggang,”ungkap Septi didampingi tokoh adat dan keluarganya.

Kepala Divisi Buruh dan Masyarakat Miskin Kota, Maswan Tambak SH mengungkapkan kronologis dari kejadian dan pengakuan tokoh adat, keluarga maupun para korban adalah sebuah peristiwa panjang dari tahun ke tahun dan bahkan sudah beberapa kali pergantian Kapolres namun kasus kekerasan itu masih kerap terjadi, miris sekali.

Menurutnya, masyarakat dari berbagai dusun yang mengetahui kejadian langsung mendatangi lokasi penyekapan terakhir dirumah kepala desa. Karena pihak GO tidak mengizinkan Septi pulang tanpa ada uang tebusan senilai Rp 20.000.000.

Kedatangan warga itu tanpa komando. Hanya karena rasa keprihatinan untuk membantu pemulangan Septi. Sebab hal serupa sudah sering terjadi di desa tersebut tanpa ada perhatian kusus dari kepolisian setempat.

“Pihak GO minta uang tebusan dengan nilai cukup besar sekitar Rp 20.000.000. Jika uang itu tidak ada dalam seketika maka nilai tebusan akan bertambah, “ujar Maswan.

Akhirnya, sambung Kadiv LBH Medan itu, para warga yang berdatangan ke rumah kepala desa Tanjung Lenggang sekitar pukul 01.00 WIB, Septi berhasil dipulangkan ke rumahnya dan warga pun turut membubarkan diri.

Namun, rekan GO, AM dan LE datang kembali mendatangi warga sedang berkumpul di warung simpang Tanjung Lenggang untuk meminta maaf kepada GO dan AL. Yang sama sekali tidak dikenal warga terkait pemulangan Septi.

Merasa tidak kenal dan bersalah, warga pun mencari tahu siapa sebenarnya GO. Karena GO bukan warga setempat, masyarakat berinisiatif menemui GO di gubuk atau markasnya dipantai Barokah guna memperjelas alasan warga harus patuh kepada orang luar kampung yang sama sekali tidak mereka kenal.

” Tanpa komando dibarengi rasa penasaran, warga dari berbagai dusun berdatangan hingga suasana semakin ramai seketika mencari keberadaan GO. Karena tidak mendapat jawaban dari AL rekan GO. Kemarahan masyarakat memuncak dan akhirnya menemukan GO dilantai dua sedang sembunyi menghindari massa,” kata Maswan sesuai Informasi yang mereka terima.

Sesuai data rilis LBH Medan, nomor : 14/LBH/RP/1/2020. Yang diterima Orbitdigitaldaily.com. Kerumunan massa yang tidak terkendali, langsung memukuli GO sedangkan dua rekannya AL dan LE berhasil kabur dari amukan massa. Dan seketika juga markas itu dilalap sijago merah bersama satu unit mobil Taft dan sepeda motor Rx King. Tidak lama kemudian kepolisian dari Polsek Bahorok mengamankan GO dan warga masih berjaga-jaga karena kuatir ada serangan balik dari AL.

Anehnya, usai kejadian, 12 warga dipanggil untuk hadir di Polres Langkat, Senin (13/1/2020) untuk memberikan kesaksian atas laporan yang dialami Septi, warga pun bersedia datang sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama yang lama ditindas premanisme.

Merasa tak bersalah, 12 warga itupun terkejut seketika atas pemeriksaan yang di mulai pukul 22.00 WIB berlanjut 04.00 WIB terkait peristiwa pembakaran dan penganiayaan GO. Mirisnya langsung ditetapkan tersangka atas laporan Polisi Nomor :LP/06/1/2020/SU/LKT/Sek-Horok tertanggal 11 Januari 2020. Dan Nomor :LP/16/1/2020/SU/LKT/Sek-Horok tertanggal 11 Januari 2020, seketika itu langsung dikirim ke rumah tahanan Polda Sumut.

Sebelumnya, amarah warga itu tak terbendung lagi sehingga masyarakat dari berbagai dusun itu muncul tidak semata mata karena peristiwa penyekapan yang dialami Septi dan buah hatinya.

” Proses panjang yang selama ini dialami warga tidak berani melaporkan perbuatan GO bersama rekannya sebab takut diserang, setiap warga yang melaporkan ke pihak kepolisian seketika itu juga terlapor mendatangi rumah pelapor sehingga masyarakat merasa trauma dan tidak ada lagi tempat mengadu,” sebut Maswan didampingi Direktur LBH Medan dan pengurus lainnya.

AL, GO, LE dan AMT bertahun tahun melakukan penganiayaan, pemerasan, pencurian hasil tani dan ternak. Dan bahkan sampai perampasan tanah warga berinisial AG, salasatu tersangka dari 12 orang yang pernah menjadi korban penganiayaan yang dilakukan AL dan AMT dengan kaki-tangan diikat dan digantung ke pohon sawit.

Selanjutnya, kata Maswan, A, MS als UD, M als U als UP, M als A, Ai. Lima tersangka dari 12 warga yang menjadi tersangka atas dugaan tindak pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang atau orang dan atau penganiayaan sebagaimana dimaksud Psl 170 ayat (2) ke 1e KUHPidana subs Psl 351 ayat (1) KUHPidana lebih subs pasal 406 ayat (1) sesuai LP Nomor : LP/16/1/2020/SU/LKT/Sek-Horok. Dan Surat Perintah Penangkapan dan Penahanan Nomor : Sp. Kap/14/1/Res.1.6/2020/Reskrim tertanggal 14 Januari 2020.

Sedangkan tuju orang lainnya, HD als F, MS als OR, NF als F, FA, AG, N als U, S als OI, tersangka atas dugaan tindak pidana secara bersama sama melakukan kekerasan terhadap barang atau orang dan atau penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 ayat (2) ke 1e KUHPidana Psl 351 ayat (1) KUHPidana sesuai laporan Polisi Nomor :LP/06/1/2020/SU/LKT/Sek-Horok tertanggal 11Januari 2020 dan Surat Perintah Penangkapan dan Penahanan Nomor : Sp.Kap/22/1/Res/.1.6/2020/Reskrim.

” Rangkaian peristiwa tersebut sangat jelas bahwa selama ini masyarakat menjadi korban keganasan dari aksi premanisme sehingga masyarakat yang ketakutan dengan terpaksa meninggalkan kampung sendiri untuk mencari kehidupan baru yang lebih baik, aman dan tentram,”ujarnya.

Untuk itu, kata Maswan, Kami dari LBH Medan, meminta kepada Presiden Republik Indonesia Ir Jokowidodo, DPR RI, Kapolri, Gubernur Prov Sumut, DPRD Prov Sumut, Kapoldasu, P2TP2A Sumut, Bupati Kab Langkat, DPRD Langkat, dan Kapolres Langkat. Untuk memberikan atensi kusus terhadap masalah ini dan laporan saudari Septi agar segera ditindaklanjuti dengan menangkap para pelaku.

Selanjutnya memberikan perlindungan hukum kepada Septi dan keluarganya maupun terhadap 12 orang tersangka serta proses hukum yang fair/adil.

” Kiranya Pemprov Sumut dan Pemkab Langkat turun langsung mendengarkan keluhan masyarakat agar tidak terulang kembali peristiwa yang sama. Premanisme harus dihapuskan sebab tidak satupun yang kebal hukum. Masyarakat berhak hidup aman, tentram dan damai tanpa ada satu pihakpun yang bisa merampas dengan cara apapun,”pintanya.

Selanjutnya, Tokoh Adat Raja Stabat, Tengku Chandra Hardi, yang turut mendampingi Septi di LBH Medan berharap pihak kepolisian agar membebaskan para tersangka, sebab mereka tidak bersalah.

” Kita sudah kordinasi dengan pihak kepolisian untuk menjelaskan kronologis kejadian perbuatan semena-mena itu sudah sering terjadi dan bahkan berulangkali, “ujar Tengku.

Menurutnya yang paling sadisnya lagi, hingga kepala desa tak bisa berkutik apapun atas peristiwa penyekapan tersebut.

” Mulut kepala desa Tanjung Lenggang sudah pernah disumpal pake kertas dan bahkan disuru dimakan sampai habis. Bagaimana dengan masyarakat biasa lagi?, ” jelas Tengku.

Hal yang sama juga diungkapkan warga lainnya, seperti Atharuddin, warga Dusun 4 Pantai Sampah Desa Tanjung Lenggang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat.

” Kami belum merdeka, sakit penjajahan belanda lebih sakit intimidasi preman. Bertahun tahun kami hidup dalam tekanan premanisme,”ungkapnya di kantor LBH Medan, Senin (20/1/2020)

Ditambahkannya, dari tahun 2013 -2020. Berawal dari masalah tanah galian C di Seleles Desa Sematar Kecamatan Bahorok menyerobot lahan pertanian masyarakat. Padahal sebelumnya Muspika bersama Menteri turut melakukan mediasi persoalan pengusaha galian C dengan masyarakat tanpa hasil justeru pihak preman semakin merajalelah.

” Banyak masyarakat pindah kampung karena tidak tahan dengan intimidasi dari preman. Lebih baik mati melawan daripada hidup menderita ditindas preman,”jelasnya.

Ia juga menjelaskan cerita panjang awalnya mulai ada keresahan masyarakat berawal dari lahan persawahan seluas sekitar 20 Ha. Namun karena digarap pihak pengusaha bersama preman lahan itu menjadi tambang galian C, akhirnya lahan masyarakat tinggal berkisar 3 Ha lahan pertanian masyarakat.

” Kami berharap para penegak hukum dapat merasakan yang kami alami. Lebih baik mati ketimbang hidup ditindas. Wajarlah kami belum merdeka, “sebut Atharuddin.

Terakhir, Septi didampingi LBH Medan bersama Tokoh Adat dan warga Langkat berharap kepada Pemerintah dan Kepolisian tidak tebang pilih kasus yang dialaminya dan berikan rasa aman dan tentram.

“Saya mau hidup tenang, aman dan tentram tanpa intimidasi premanisme. Sampai saat ini keberadaan suami saya sejak peristiwa itu belum diketahui keberadaannya, “ungkapnya bercampur piluh.

Reporter- Toni Hutagalung