TOBASA – Wacana Pemprov Sumut membuat wisata halal di Danau Toba menuai pro dan kontra.
Banyak yang mendukung, tak sedikit yang memprotes. Sejumlah opini menyeruak, salahsatunya wacana wisata halal di kawasan wisata Danau Toba bakal memisahkan kemajemukan yang selama ini terjalin baik.
Kabarnya, Gagasan tersebut dianggap tidak menghargai apa yang sudah membudaya dalam masyarakat setempat atau di daerah Danau Toba.
Terutama ketika menyangkut penataan ternak dan pemotongan babi di kawasan tersebut.
Hal itu pun ditentang ramai-ramai baik warga seputar Danau Toba maupun yang tinggal sementara atau menetap di perantauan.
Soalnya, wisata di kawasan danau toba adalah berbasis budaya yang seharusnya dipertahankan sebagai ciri khas.
Salahseorang putra batak asal Kecamatan Silaen, Kabupaten Tobasa, Dolok M Panjaitan mengatakan konsep wisata kawasan Danau Toba adalah berbasis budaya.
Ia menyebut, binatang babi merupakan salah satu simbol adatnya.
Di setiap acara atau kegiatan budaya Batak, daging babi kerap diletakkan di tengah kumpulan warga yang menyelenggarakan pesta.
Karenanya, ciri khas ini justru mesti dipertahankan bahkan dipromosikan sebagai kekayaan kuliner setempat.
“Saya, Dolok M Panjaitan, sebagai warga batak perantau di Papua yang sangat kental dengan tradisi ini, sangat terusik dengan ide atau wacana wisata halal jika diterapkan di tanah lelulur saya,” tegasnya.
Diteruskannya, warga kawasan danau toba sangat menjunjung budaya Pancasila dan menghargai keberagaman suku dan agama.
Karena itu di pesta batak, untuk menghargai perbedaan, selalu disediakan hidangan yang sesuai aturan agama para tamunya.
Sebenarnya konsep halal dan haram tidak pernah diatur dalam dasar hukum Indonesia.
“Konsep halal dan haram ini malah bisa menimbulkan kesombongan rohani antara kelompok agama,” katanya.
Ia mengacu pada ketentuan organisasi turis dunia, UNWTO, bahwa keparawisataan seharusnya menghormati keaslian sosial-budaya masyarakat setempat.
“Melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai tradisional yang dibangun dan hidup, serta berkontribusi pada pemahaman dan toleransi antar budaya,” ujarnya.
Wisatawan mancanegara bukan hanya berasal dari Malaysia dan Brunei saja.
“Berdasarkan website Badan Pusat Statistic Provinsi Bali tahun 2017, negara penyumbang wisatawan kita adalah China (1.356.412), Australia (1.062.039), India (264.516), Jepang (249.399), Inggris(240.633), Amerika (189.814), Perancis (176.710), Jerman (176.470), Korsel (161.765),” katanya.
Ia membandingkan dengan Thailand, sebuah negara di Asia Tenggara yang cukup fantastis menarik wisatawan mancanegara.
“Sehingga alasan wacana wisata halal untuk menarik atau meningkatkan jumlah wisatawan adalah wacana sia-sia yang tidak berdasar,” terangnya.
Dolok menyebut, apa yang harus dibenahi dari Danau Toba adalah promosi logistik, pembenahan infrastruktur dan kemudahan lain bagi wisatawan.
“Itu yang harus ditingkatkan dan disokong oleh pemerintah, juga masalah pencemaran lingkungan harus diatasi,” pungkas Dolok.
Reporter: Bernard