Ragam  

Fenomena Pungli dan Geng Motor Seperti Telah Dinormalisasi

FENOMENA pungutan liar dan geng motor yang terus terjadi di tengah-tengah masyarakat sepertinya telah “dinormalisasi” bukan karena masyarakat menyetujuinya, tapi karena rasa tidak berdaya, kurangnya alternatif, dan tidak berfungsinya sistem hukum dan sosial secara maksimal. Masyarakat sebagai korban terus menerus menjadi sasaran kekerasan, perusakan, pemalakan, atau teror yang dilakukan oleh kelompok geng motor.

Masyarakat berada pada posisi dilematis, jika dibiarkan praktik pungli dan geng motor semakin merajalela, sebaliknya jika diambil tindakan sendiri berpotensi main hakim sendiri, munculnya kekacauan dan merusak kondusifitas hukum dan keadilan. Karena itu untuk mengatasinya, dibutuhkan upaya sistemik yang menyentuh akar persoalan: dari pendidikan, keadilan ekonomi, hingga reformasi birokrasi, dan hukum.

Ada beberapa alasan utama peristiwa pungli dan geng motor sebagai faktor penyebab hal ini bisa terjadi:

  1. Lemahnya Penegakan Hukum. Penegakan hukum yang tidak konsisten atau bahkan diskriminatif membuat pelaku pungli dan kekerasan geng motor merasa aman. Tindakan tegas sering kali hanya muncul saat ada sorotan publik atau media, bukan sebagai hasil sistematis dari fungsi hukum. Kurangnya tindakan tegas terhadap pelaku pungli dan geng motor menyebabkan efek jera tidak tercapai
  2. Budaya Diam dan Takut. Masyarakat sering memilih diam karena takut terhadap ancaman, intimidasi, atau balas dendam dari pelaku. Ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum membuat masyarakat enggan melapor. Masyarakat cenderung membiarkan praktik pungli atau keberadaan geng motor karena takut akan intimidasi atau tidak percaya pada perlindungan hukum. Normalisasi pungli di lingkungan tertentu (misalnya di terminal, pasar, atau parkiran) menjadikan praktik ini seperti “hal biasa”.
  3. Keterbatasan Sosial-Ekonomi. Banyak pelaku pungli atau anggota geng motor berasal dari lingkungan yang miskin dan kurang pendidikan. Ketika negara tidak menyediakan akses ekonomi dan sosial yang memadai, sebagian orang mengambil jalan kekerasan atau ilegal sebagai alternatif bertahan hidup. Praktik pungli seringkali menjadi “penghasilan tambahan” bagi sebagian oknum, sehingga terus dipelihara karena memberi keuntungan instan.
  4. Media dan Representasi Populer. Faktor lain sebagai penyebab adalah beberapa media atau konten di internet terkadang secara tidak langsung meromantisasi kehidupan geng motor. Pungli dalam birokrasi atau sektor informal juga sering dilihat sebagai “biaya normal” atau “uang rokok,” bukan sebagai kejahatan.
  5. Adaptasi Masyarakat. Dalam jangka panjang, masyarakat dapat beradaptasi terhadap situasi menyimpang, lalu menganggapnya sebagai bagian dari “kenyataan hidup.” Ini menciptakan siklus toleransi terhadap ketidakbenaran: yang dulu dianggap menyimpang, kini dianggap biasa.
  6. Korupsi dalam Institusi. Adanya dugaan keterlibatan aparat dalam membiarkan, melindungi, atau bahkan ikut serta dalam praktik-praktik tersebut membuat pemberantasan menjadi tidak efektif.
  7. Kurangnya Koordinasi Antar-Lembaga. Pemerintah daerah, aparat kepolisian, dan lembaga sosial belum sepenuhnya terintegrasi dalam memberantas masalah ini. Penanganannya cenderung reaktif, bukan preventif. (*)