MEDAN – Walikota Medan Non Aktif, Dzulmi Eldin, Kamis (14/5/2020) dituntut 7 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.
Jaksa menilai Eldin bersalah menerima suap Rp2,1 miliar. Suap tersebut diduga diberikan ke Eldin lewat Samsul Fitri yang saat itu menjabat Kasubbag Protokoler Pemko Medan.
Sejumlah kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di jajaran Pemko Medan diminta ‘nyetor’ ke Eldin.
Diantaranya yang terungkap di persidangan dan mengakui seperti Kadis Koperasi dan UMKM Kota Medan Dra Edliaty Siregar MAP Rp30 juta, Kadis Ketahanan Pangan Emilia Lubis senilai Rp30 juta, Kadis Kesehatan Kota, Medan Edwin Efendy Rp30 juta.
Kemudian Suherman selaku Kepala BP2RD memberikan uang pada Juli- September 2019 senilai Rp 60 juta dan selanjutnya Iswar selaku Kadis Perhubungan juga nyetor ke Samsul Fitri pada Juli- September 2019 senilai Rp 60 juta.
Namun sayang, dalam perkara ini KPK belum mengerucut kepada puluhan kepala OPD dan direksi yang memberikan suap kepada Eldin.
Begitupun, kabar burungnya memang komisi anti rasuah bakal membidik kesemuanya. Sejatinya langkah itu akan dilakukan lembaga hukum pimpinan Komjen Firli Bahuri usai putusan hukum terhadap sang Walikota Medan Non Aktif Dzulmi Eldin dinyatakan incraht.
Advokat kondang yang juga pakar hukum asal Sumut, Julheri Sinaga mengatakan, dalam tindak pidana korupsi ASN penerima suap dan orang yang memberi suap harusnya kedua-duanya jadi pesakitan.
“Penerima dan pemberi suap itu sama-sama menjadi pesakitan harusnya. Jadi saya pikir tindakan KPK dalam hal ini terkesan ada diskriminasi penegakan hukum. Dan itu dilarang di dalam UU HAM, tidak boleh ada diskriminasi dalam penegakan hukum,” sebutnya Senin (18/5/2020).
Apa yang dilakukan KPK menurut Julheri harusnya sesuai koridor. Semuanya sama posisinya di mata hukum.
“Penerima dan pemberi suap harusnya dijadikan tersangka, terdakwa di pegadilan. Kedua pihak ini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, bukan cuma penerima suap saja,” tegas Julheri
Ditanya pendapatnya soal kemungkinan pejabat-pejabat pemberi suap ke Eldin bakal diusut ke KPK usai kasusnya incraht, Julheri menyebut sebenarnya itu membuang-buang waktu dan tenaga.
“Bila kronologis memang mereka (kepala OPD dan direksi,red) memberi suap, harusnya itu kan bisa dibuktikan dengan mudah. Kalau KPK konsisten dengan dakwaannya dia harusnya menjadikan yang pemberi suap sebagai tersangka sejak kasus ini mencuat,” ujarnya.
“Memang pada dasarnya boleh-boleh saja pemberi suap itu diusut belakangan. Tapi itu kan sudah mengulur-ulur waktu dan bertentangan dengan UU pokok kehakiman; peradilan yang cepat, sederhana dan biaya yang ringan,” tutur Julheri.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Walikota Medan nonaktif Dzulmi Eldin dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
JPU pada KPK menilai Eldin bersalah menerima suap Rp 2,1 miliar.
“Kami menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Medan yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” kata jaksa saat membacakan tuntutan terhadap Eldin di PN Medan, Kamis (14/5/2020) kemarin.
Eldin dinilai bersalah melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Jaksa menyebut Eldin terbukti menerima suap Rp 2,1 miliar secara bertahap.
Duit itu disebut diterima Eldin dari para pejabat di Medan. Suap tersebut diduga diberikan ke Eldin lewat Samsul Fitri yang saat itu menjabat Kasubbag Protokoler Pemko Medan.
Selain itu, jaksa menuntut hukuman tambahan terhadap Eldin. Jaksa menuntut agar hak politik Eldin dicabut selama 5 tahun. (Diva Suwanda)