Opini  

Keadilan Restoratif Pulihkan Harmonisasi Masyarakat

Kajati Sumut, Idianto SH MH meresmikan rumah Restorative Justice (RJ) Pur Pur Sage di Balai (Jambur) Desa Ketaren Kecamatan Kabanjahe, Rabu (16/3/2022). Foto/Ist

Oleh : Toni Hutagalung

Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin telah menggaungkan program penegakan hukum secara Keadilan restoratif atau Restoratif Justice (RJ) guna mewujudkan rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat. 

Sejak diundangkan Bulan Juli 2021 lalu, hingga pertengahan Bulan April 2022, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara berhasil menggelar penghentian penuntutan 131 perkara, secara Nasional 821 perkara dengan pendekatan RJ, Kamis (17/3/2022).

Munculnya restorative justice merupakan jawaban atas amblasnya sistem pemidanaan, dimana sistemnya sudah tidak efektif menekan tingginya angka kriminalitas berujung kelebihan daya tampung (over kapasitas) di Lembaga Pemasyarakatan. 

Konsep peradilan pidana konvensional berfokus pada pemidanaan dan penghukuman pelaku kejahatan belum menyentuh kepentingan korban atau masyarakat yang dirugikan.

Apalagi, sistem hukum Indonesia masih bersifat parsial dan tidak komprehensif karena berbagai instrumen hukum belum diterapkan secara menyeluruh.

Faktor lain penghambat penerapan RJ sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan adalah faktor perundang-undangan yang mengatur penggunaan restoratif justice melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) perkara pidana.

Jika 821 perkara dikalkulasikan dengan biaya yang ditanggung negara mulai penyidikan di kepolisian, penuntutan di Kejaksaan dan putusan di Pengadilan hingga lapas atau rutan mencapai Rp 10 juta, maka potensi penyelamatan keuangan negara sebesar Rp8,2 milyar.

Untuk itu, ide cemerlang Jaksa Agung patut diapresiasi masyarakat luas karena mampu menyelamatkan keuangan Negara lewat RJ tersebut.

Dengan demikian diharapkan persoalan over kapasitas di lembaga pemasyarakatan mengingat dampak negatif yang ditimbul dari persoalan dapat menghemat anggaran Negara.

Sementara, menurut Werenigingstheorien tujuan pemidanaan pada hakekatnya adalah pembalasan. Hal ini seolah-olah bertentangan dengan penerapan Keadilan restoratif (RJ) dalam penghentian penuntutan secara umum. 

Yang mana tujuannya menciptakan kesepakatan atas penyelesaian suatu perkara pidana, serta mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku. 

Prinsip utama dalam keadilan restorative adalah penegakan hukum selalu mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. 

Penerapan keadilan restoratif sejatinya bermula dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar peradilan yang dilakukan masyarakat, disebut dengan victim offender mediation (VOM). 

Dengan adanya perdamaian, maka nilai-nilai falsafah dalam Staatfundamentalnorm RI, mengutamakan penyelesaian perkara berdasarkan nilai kekeluargaan. 

Selain itu, RJ selaras juga dengan budi luhur bangsa Indonesia, dimana setiap persoalan bukan harus berakhir di pengadilan. Sepanjang masih ada upaya musyawarah – mufakat melibatkan peran tokoh masyarakat, adat dan agama maka kedepannya tali persaudaraan tetap kokoh. 

Hal itu, dituangkan dalam Peraturan Kejaksaan (Perja) RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif atau RJ, tanggal 22 Juli 2021 silam. 

Keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ) merupakan solusi penegakan hukum dengan prinsip restitusi penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Persyaratan penerima RJ telah diatur secara jelas, dimana tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, jumlah kerugian akibat pencurian yang dilakukan tersangka di bawah Rp2.500.000, dan ancaman hukuman dibawah 5 tahun penjara, dan syarat-sayarat lainnya. Kemudian, adanya perdamaian terjadi apabila ada respon positif dan sama antara tersangka dengan korban/pihak keluarga. 

Keadilan Sejati

Pakar Hukum Universtas Pelita Harapan (UPH) Medan, Andy Tonggo Michael Sihombing SH M.AP, sebenarnya penyelesaian perkara pidana berdasarkan Restorative Justice bukan menghilangkan tujuan pemidanaan itu sendiri, yakni pembalasan. 

Namun berdasarkan kaidah filsafat Pancasila mengutamakan penyelesaian perkara berdasarkan mufakat dan rasa kekeluargaan, terlebih dahulu dapat dilakukan RJ. 

Kemudian aspek sosiologi dan psikologi hukum, mekanisme RJ membuktikan bahwa negara melalui Kejaksaan menghadirkan keadilan sejati berdasarkan kesepakatan stakeholder di dalamnya. 

Dimana korban maupun tersangka didengar pendapatnya berdasarkan rasa keadilan sebagai manusia. Dalam hal ini Kejaksaan melalui penuntut umum hadir sebagai fasilitator perdamaian yang memang terlebih dahulu harus memenuhi syarat dilakukannya RJ itu sendiri berdasarkan PERJA RI No 15 tahun 2020.

Dengan demikian, penyelesaian perkara pidana melalui pengadilan diambil sebagai langkah terakhir apabila syarat RJ tidak dipenuhi dan/ atau penyelesaian perkara pidana berdasarkan RJ tidak tercapai kesepakatan diantara para pihak.

Keberhasilan penghentian penuntutan 59 perkara sampai pada medio April 2022 oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara bukan tanpa alasan, meski jumlah peluang masih memungkinkan diantara 23 Kejaksaan Negeri di Sumatera Utara. 

Penghentian diantara 59 perkara berasal dari, 

  1. Kejari Simalungun 13 perkara.
  2. Kejari Tanjung Balai 1 perkara.
  3. Kejari Belawan 3 perkara.
  4. Kejari Madina 1 perkara.
  5. Kejari Samosir 2 perkara.
  6. Kejari Pematangsiantar 1 perkara.
  7. Kejari Deli Serdang 2 perkara.
  8. Kejari Paluta 3 perkara.
  9. Kejari Langkat 9 perkara.
  10. Kejari Dairi 1 perkara.
  11. Kejari Tapsel 1 perkara.
  12. Kejari Nisel 1 perkara.
  13. Kejari Sergai 1 perkara.
  14. Kejari Tobasa 2 perkara.
  15. Kejari Humbahas 1 perkara.
  16. Kejari Asahan 1 perkara.
  17. Kejari Labuhan Batu 5 perkara.
  18. Cabang Kejaksaan Negeri Pancur Batu 3 perkara.
  19. Cabang Kejaksaan Negeri Madina di Natal 1 perkara.
  20. Cabang Kejaksaan Negeri Deli Serdang di Labuhan Deli 4 perkara.
  21. Kejari Medan 2 perkara. 

Diantara 59 perkara didominan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pencurian sawit, penganiayaan, penadahan, penipuan/penggelapan dan kejahatan lainnya.

Meski sudah diatur persyaratan dalam penerapan RJ, perlu supervisi yang lebih intens dan baik lagi khusus dari divisi pengawasan Kejaksaan. Agar RJ ini tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu sehingga tujuannya berbeda dengan tujuan mulia RJ itu sendiri.

Pur-pur Sage Rumah RJ Pertama di Sumut

Bertepatan peluncuran rumah RJ secara nasional oleh Jaksa Agung Burhanuddin didampingi Jampidum Kejagung RI Fadil Zumhana. Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Idianto SH MH meresmikan rumah Restorative Justice (RJ) Pur Pur Sage di Balai (Jambur) Desa Ketaren Kecamatan Kabanjahe, Rabu (16/3/2022).

Peresmian rumah RJ Pur Pur Sage sekaligus persemian rumah RJ Desa Keluarga Damai di Desa Sidotani, Kecamatan Bandar, Kabupaten Simalungun, rumah RJ Huta Pardamean Adhyaksa di Desa Purbasinomba, Kecamatan Padangbolak, Paluta dan Rumah RJ Pur Pur Sage di Karo. Terbaru, rumah Restorative Justice Sopo Adhyaksa Batak Naraja di Kantor Kecamatan Sigumpar Kabupaten Toba, Rabu (20/4/2022).

Uniknya, Pur-pur Sage adalah metode perdamaian ala masyarakat Karo, dilakukan apabila ada pihak bertikai atau berselisih paham, baik orang perorang dalam satu keluarga atau dengan lainnya, ataupun antar keluarga, kelompok.

Pur pur Sage dilaksanakan pertanda jalan damai telah ditemukan kata sepakat lewat musyawarah perdamaian agar situasi ini dapat kembali membaik dan dikukuhkan dalam satu upacara adat yang sakral.

Sadar Hukum Sejak Dini

Kasi Penkum Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Yos A Tarigan SH MH menjelaskan kampung Restorative Justice bisa dilihat dari kearifan lokal dan karakter budaya bangsa Indonesia, mengedepankan kekeluargaan dan ini harus dijunjung tinggi dalam rangka penegakan hukum khususnya di Sumatera Utara.

Pesan Jaksa Agung, rasa keadilan tidak ada dalam text book, tetapi ada dalam hati nurani. Artinya kearifan lokal ini bersifat kekeluargaan dan akan menjadi ruh dalam penegakan hukum dengan skema Restorative Justice.

RJ sangat tepat sekali dengan budaya ketimuran. Dengan dicanangkannya Kampung RJ di Sumut berarti telah diinisiasi ada kampung yang sadar hukum.

“Masyarakat diberikan edukasi bagaimana pemahaman tentang hukum sejak dini. Sehingga potensi pelanggaran hukum bisa diantisipasi secara bersama sama. Jika hal ini sudah bagian dari tatanan masyarakat, maka bisa dipastikan tingkat kriminal menurun drastis”kata Yos menanggapi kampung Restorative Justice.

Asal Usul Restoratif Justice

James Dignan dalam karyanya Understanding Victims and Restorative Justice (2005) mengungkapkan istilah keadilan restoratif berawal dari Albert Eglash (1977) membedakan tiga bentuk peradilan pidana, yakni retributive justice, distributive justice, dan restorative justice

Albert Eglash seorang psikolog 1950-an bekerja melayani narapidana di penjara. Menurut Eglash, sasaran keadilan retributif adalah penghukuman terhadap pelaku atas kejahatannya. Sementara sasaran keadilan distributif adalah rehabilitasi para pelaku kejahatan.

Kemudian, keadilan restoratif merupakan prinsip restitusi dengan melibatkan korban dan pelaku dalam proses mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelaku.

Kerangka historis keadilan restoratif dilatarbelakangi ketidakpuasan atas implementasi sistem peradilan pidana pertengahan tahun 1970 yang bersifat retributive dinilai kurang memberi manfaat terhadap korban, pelaku, dan masyarakat.

Akhirnya, sejumlah kelompok aktivis sistem peradilan pidana di Amerika Utara dan Eropa  berupaya mengadakan gerakan reformasi sistem pemidanaan secara terorganisasi. Hingga tahun 1974, terinisiasi Victim-Offender Reconciliation Program (VORP) di Ontario, Kanada.

Disinilah diindikasi gerakan awal konsep keadilan restoratif. Yang semula ditujukan kepada pelaku tindak pidana Anak dalam bentuk ganti kerugian kepada korban memperoleh tingkat kepuasan cukup tinggi dari korban, maupun masyarakat.

Prestasi ini mendorong lahirnya program serupa di kawasan Eropa dan Amerika Utara. Konsep keadilan restoratif berkembang menjadi beberapa jenis pendekatan seiring berjalannya waktu.

Eddy O.S. Hiariej, dalam karyanya Prinsip – Prinsip Hukum Pidana (2014), setidaknya tercatat lima pola implementasi sistem peradilan pidana yang berpedoman pada keadilan restoratif.

Pendekatan pertama, court-based restitutive and reparative measures. Konsep ini diusung para pendukung “civilization thesis” di Inggris melalui tuntutan ganti kerugian oleh pelaku sebagai bentuk reparasi terhadap korban.

Kedua, Pendekatan yang dipengaruhi Gerakan Christian Mennonite (Christian Mennonite Movement) menitikberatkan nilai rekonsiliasi antara korban dan pelaku (victim-offender mediation programmes).

Ketiga, restorative conferencing initiatives menekankan konferensi sebagai sarana penyelesaian pidana terdiri dari dua model, yaitu,

  1. Penyelesaian perkara pidana melalui proses pemufakatan bagi anak sebagai pelaku tindak pidana guna menggapai Restorative Justice dalam menyelesaikan masalah anak (family group conference ).
  2. Musyawarah antar pihak, disaksikan polisi (police-led community conferencing).

Pendekatan keempat, lewat mekanisme panel antara warga dan dewan masyarakat dalam penyelesaian tindak pidana sebagaimana konsep children hearing system di Skotlandia.

Pendekatan kelima, healing and sentencing circles. Pendekatan yang popular bagi warga asli Kanada ini mengikutsertakan para pihak yang umumnya terlibat dalam pengadilan tradisional ke dalam ruang persidangan konvensional.

  • Tulisan ini diperlombakan dalam karya tulis Jurnalistik dan Mahasiswa tahun 2022 oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara “Penghentian Penuntutan dengan Penerapan Keadilan Restoratif”. Sub Tema “Penghentian Penuntutan dengan Penerapan Keadilan Restoratif Jaksa Agung Launching Rumah RJ”