Ragam  

Sanggar Seni Anggok dan Kuda Lumping, Asa yang Tak Tersampaikan

Kesenian Kuda Lumping yang masih digemari masyarakat

Aroma bau kemenyan tercium keras, suara gamelan terdengar dari balik kerumunan warga yang antusias menyaksikan pagelaran seni tari dan atraksi di lapangan Desa Bandar Setia, Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deliserdang Sumut (Kawasan Tembung) pada Minggu (15/7).

Para penari terlihat seperti kesurupan, matanya melotot menoleh kekanan dan kekiri, sambil memakan bunga mengikuti irama musik. Berguling, melompat, menari dan terkadang berperilaku seperti hewan.

Pagelaran seni tari ini dinamakan Jaran Kepang/Kuda Lumping, disebut sebut merupakan tarian tradisional Jawa yang berasal dari Ponorogo Jatim. Sering dilakukan pada masa dahulu sebagai makna sekelompok prajurit menunggang kuda. Diperkirakan tari Kuda Lumping telah ada sejak kerajaan kuno atau masa pra-Hindu. Hal tersebut dikarenakan masih diwarnai dengan adanya animisme.

Budaya kuno tersebut menjadi kebiasaan yang dipertahankan hingga saat ini. Tarian jaran kepang sampai sekarang masih dilestarikan di sejumlah daerah di Indonesia hingga mancanegara.

Butuh Pembinaan

Sekar Wahyu Manunggal Pacas salah satu sanggar kreasi berupa seni tari Anggok dan Jaran Kepang atau biasa di sebut kuda lumping, yang terdapat di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deliserdang.

Seorang pemuda peserta pemain seni kuda lumping sedang pasang aksi kuda kuda dalam permainannya

Sugiman (64) pimpinan sanggar menceritakan kepada orbitdigital. Mempertahankan budaya melalui seni butuh tantangan serta kesabaran. Seperti Sanggar Tari Pacas memperkenalkan budaya seni tari kuda lumping di daerah Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deliserdang. Sanggar berdiri sejak 12 tahun silam.

Untuk penampilan, sanggar ini melakukan pertunjukan saat adanya undangan istilahnya tangkapan atau saweran, membuat pagelaran sendiri berharap dari penonton. Hal ini dilakukan untuk menghibur serta memperkenalkan kesenian budaya ke masyarakat dan juga supaya ada kegiatan buat muda mudi agar terhindar dari hal negatif.

“Untuk penghasilan tangkapan biasanya Rp2 juta buat keperluan akomodasi dan perlengkapan kemudian di bagi kepada para anggota yang terlibat dalam pagelaran seni tari tersebut lalu sisanya buat uang kas,” ujar Sisu panggilan akrab Sugiman.

Sisu menambahkan, atas apa yang mereka lakukan dalam melestarikan seni budaya berharap perhatian pemerintah agar lebih peduli terhadap kesenian di desa masing masing. Karena selama ini dana operasional yang dipergunakan dari kantong pribadi seperti uang iuran anggota atau donasi masyarakat.

“Pernah di tahun 2013 – 2016 kita mendapatkan bantuan pembinaan dari pemerintah melalui dinas kebudayaan sebesar Rp10 juta, namun bukan buat kita pribadi seperti membeli perlengkapan, melainkan buat suatu event perlombaan seni tari. Dana itu diperuntukkan membuat dekorasi panggung serta lain lainnya, ya…ujungnya tidak bisa dibagi buat para anggota untuk dibawa pulang,” jelasnya.

Mereka berharab melalui seni tari jaran kepang semoga memberikan manfaat, sebagai edukasi pada generasi saat ini supaya tidak lupa terhadap adat istiadat serta budayanya agar tetap dilestarikan, pungkasnya.

Iwan GB