PALAS – Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD) Padanglawas ( Palas) kembali menyasar proyek hotmix peningkatan jalan di Trans Aliaga Kecamatan Hutaraja Tinggi.
Dari tinjauan para wakil rakyat Palas ini, proyek berbiaya Rp19,6 miliar itu dinilai banyak kejanggalan. Komisi C yang melakukan tinjauan terdiri dari Muhammad Ike Taken Hasibuan, Elfin Hamonangan Harahap, Erwin Suwandi Harahap, H Puli Parisan lubis, M Dayan Hasibuan dan pendamping Ratonggi Hasibuan.
Pada proyek hotmix yang ditinjau terlihat bahwa panjang jalan yang dikerjakan aspal hotmix lebih kurang 4,5 Km dengan pagu anggaran Rp19,6 miliar bersumber dari APBD TA 2019.
Dengan lebar jalan (lebar lajur lalu lintas yg diaspal +/- 3,5 meter. Dan lebar bahu jalan (shoulder) 0,6 meter dengan cor beton.
Muhammad Ike Taken mengungkapkan, dari pengamatan anggota Komisi C, jenis hotmix aspal pada proyek tersebut adalah ATB (Aspalt Treated Base) atau HRS (Hot Roller Sheet). Ketebalan finishing ATB adalah 4-5 cm, tergantung volume yang disyaratkan dalam kontrak.
Sedangkan ketebalan minimum HRS adalah 3 cm per sheet (biasanya dibuat minimal 2 sheet). Sehingga ketebalan minimum finishing HRS adalah 2×3 cm =6 cm).
Namun dari pengamatan pada beberapa titik/ruas, ketebalan tersebut, tidaklah tercapai (baik ATB 4-5 cm, maupun HRS 3 cm). Sehingga syarat minimal ATB (ataupun HRS) tidaklah tercapai. Jika ketebalan minimal tidak tercapai, dapat dipastikan bahwa umur rencana konstruksi tersebut tidak akan tercapai.
Hal yang tidak lazim lagi pada finishing pekerjaan pengaspalan kata Ike Taken, adalah, tidak adanya terlihat bekas Core Drill. Core dilakukan untuk mengukur ketebalan aspal (sample core ) diambil minimal setiap 200 M secara acak.
” Biasanya jig jag, sebaiknya setiap 100 M. Setelah di core, hasil core dibawa ke lab untuk diukur. Lobang bekas core harus ditutup kembali,” kata Ike Taken Kamis ( 26/3/2020).
Penutup sample core biasanya dengan adukan/beton tumbuk). Hal ini dimaksudkan supaya LPA, LPB dan Tanah Dasar (Subgrade) pada badan jalan tetap kedap air. (LPA) Lapis Pondasi Atas dan ( LPB) Lapis Pondasi Bawah).
” Pertanyaannya kenapa ketebalan lapis permukaan jalan (aspal red) tidak di core. Lalu kalau tidak di core, bagaimana owner/bowher mengetahui ketebalan finishing lapisan aspal tersebut, apakah sudah sesuai spek pada kontrak,” tanya politisi PAN ini.
Selain itu bukti buruknya pengerjaan hotmix itu, dibeberapa titik sudah terjadi settlement (penurunan tanah dasar pada badan jalan/lajur lalu lintas), yang mengakibatkan terjadinya deformasi/distorsi (gelombang pada permukaan jalan).
Hal ini mengindikasikan bahwa pekerjaan pemadatan pada subgrade ataupun LPA/LPB tidak dilakukan dengan baik. Akibat lanjutan dari deformasi/distorsi tersebut adalah terjadinya cracking (retak- retak pada permukaan aspal). Hal mana terjadi karena pembebanan yang ber-ulang- ulang dari beban lalu lintas.
“Yang paling menyedihkan lagi adalah umur konstruksi baru tiga bulan tapi di beberapa titik sudah terjadi deformasi, bahkan cracking,” tegas Ike.
Pada beberapa ruas (dari panjang jalan tersebut) terlihat bahwa kualitas hotmix aspalt-nya tidak baik. Dimana secara kasat mata agregat kasar dari aspalt hotmix tersebut sudah terlihat nyata.
” Ini mengindikasikan bahwa perbandingan antara agregat kasar dengan agregat halus serta volume aspalt-nya tidak seimbang,” ungkap Ike.
Kerusakan konstruksi yang mungkin segera terjadi akibat dari komposisi yang tidak seimbang tersebut adalah, stripping. Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka akan terjadi apa yang disebut dengan seperti retak lelah pada permukaan aspal yang mengakibatkan surface (lapis permukaan) tidak kedap air lagi.
” Sudah jelas nampak seperti retak lelah, padahal belum lelah, karena umurnya toh baru beberapa bulan,” jelas Ike Taken.
Selain itu anggota Komisi C lainnya, M Dayan mengatakan, bahwa bahu jalan (shoulder) terdiri dari konstruksi beton. Menjadi pertanyaan Ike Hasibuan pada item ini adalah, apakah sepanjang proyek tersebut bahu jalan semuanya dari konstruksi beton atau hanya pada ruas tertentu saja.
” Karena pada kenyataannya bahu jalan dengan beton hanya beberapa ratus meter saja, itupun ter-putus- putus,” tanya Ike.
Seterusnya yang menjadi pertanyaan bahu jalan tersebut apakah dari konstruksi beton bertulang atau beton tumbuk. Maka jika dari beton tumbuk, maka dikhawatirkan tidak akan berumur panjang, mengingat truk- truk pengangkut sawit dengan tonase besar merupakan lalu lintas yang cukup dominan pada jalur tersebut.
Selanjutnya terkait bahu jalan, Ike Hasibuan berharap kiranya Dinas PU memperhatikan bahwa pada beberapa ruas masih terdapat bahu jalan yang tidak sesuai persyaratan minimal (beda tinggi antara aspal dengan bahu jalan lebih besar dari tujuh cm. Bahkan ada yang hingga diatas 20 cm). Hal ini dapat menjadi penyebab kecelakaan, disamping menjadi penyebab retak pinggir pada bagian aspal.
Selanjutnya Elpin Hamonangan, mempertanyakan kenapa biaya peningkatan jalan yang panjangnya hanya 4,5 kilo meter, tapi anggarannya hingga Rp. 19,6 M. Atau sama artinya menelan biaya Rp.4,35 Miliar /km.
Akibat mahalnya biaya tersebut, Elpin mempertanyakan harga satuan material dan harga satuan pekerjaan untuk pekerjaan pengaspalan di Kabupaten Padanglawas.
Puli Parisan Lubis juga menyampaikan, kiranya dinas terkait lebih selektip dalam menetapkan pemenang tender. Hal itu berkaitan dengan kualitas proyek.
” Kita berharap mereka yang melaksanakan proyek kiranya lebih mengedepankan kualitas,” kata Puli Parisan.
Senada dengan itu Erwin Suwandi anggota komisi c lainnya juga mengaku heran dengan biaya besar tapi mutu pekerjaannya mengecewakan.
Reporter : Firdaus Hasibuan